Komisi
Pemberantassan Korupsi yang biasa kita kenal dengan sebutan KPK sejauh ini
telah memberikan kontribusi yang luar bisa dalam menyelamatkan aset kekayaan
negara dari manusia-manusia tamak di Indonesia. Kinerja KPK patut diacungi
jempol dalam hal pemberantasan korupsi yang sejatinya kejaksaan dan kepolisian
pun belum mampu memberantas dan menangani kasus korupsi yang semakin bertambah
tiap tahunnya sebelum adanya lembaga anti rasuah ini. seperti yang dilansir website
resmi KPK, sejak KPK berdiri dalam melaksanakan
kewajibannya yaitu memberantas korupsi lembaga anti rasuah ini telah
mendapatkan beberapa penghargaan atas kinerja yang sangat optimal selama ini
diantaranya lembaga terbaik 2014 dari Soegeng Sarijadi School of Governance
(SSSG), “Pioneer kelembagaan dan SDM ULP yang permanen” dari LKPP, keterbukaan
informasi publik berbasis internet dari Bakohumas, dan sejumlah penghargaan
lainnya (kpk.go.id senin 29 Desember 2014).
Pada tahaun 2013
Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp.
1,196 triliun, jumlah yang fantastis yang sejatinya lebih efisian digunakan
demi kepentingan rakyat dari pada masuk ke kantong para koruptor yang hanya
meninggalkan noda hitam dalam birokrasi negara kita, belum lagi masih banyak
rakyat Indonesia yang jauh dari kata sejahtera sesuai janji dan cita konstitusi
yaitu mensejahterakan kehidupan bangsa. Maka sudah sepatutnya lembaga anti
rasuah ini terus didukung dan diperkuat dalam menjalankan tugasnya agar
kejahatan tindak pidana korupsi di Indonesia semakin menurun tiap tahunnya.
Seharusnya Indonesia bercermin kepada negara-negara berkembang yang telah dapat
dikatakan sukses dalam penanganan tindak pidana korupsi, seperti halnya Negara
Cina yang sangat memerangi kasus korupsi di negaranya, seperti yang dilansir
hukum online Negara Tirai bambu ini tidak segan-segan memberikan hukuman yang
seberat-beratnya terhadap koruptor yaitu hukuman mati atau seumur hidup,
seperti nasib buruk yang menimpa Hu Changqing yang dieksekusi mati setelah
permohonan kasasinya ditolak (9 maret 2001), Hu Changqing adalah wakil Gubernur
provinsi Jiangxi yang dihukum mati setelah terbukti bersalah menerima suap
senilai AS$660.000 atau kurang lebih sebesar Rp.4,95 Miliar dan menerima
sogokan property sebesar kurang lebih Rp.1,5 miliar. Jika dengan menjatuhkan
hukuman seberat-beratnya dapat menurunkan angka korupsi di Indonesia kenapa
harus takut untuk mengimplementasikannya, para pejabat mengapa harus menolak
dan takut akan hukuman tersebut jika dia merupakan pejabat negara yang bersih
dan membela kepentingan rakyat, bisa diambil kesimpulan para pejabat yang takut
akan hukuman yang demikian berarti dia mempunyai niatan untuk melakukan tindak
pidana korupsi. mungkin banyak saudara pembaca yang kurang setuju dengan
pendapat yang penulis sampaikan, tapi sejatinya jika dikaitkan dengan konteks
hak asasi manusia, maka hak asasi manusia adalah sesuai dengan penafsiran
masing-masing negara. Jika penerapan pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tentang macam-macam pemidanaan yang salah satunya adalah hukuman mati digunakan
dan disahkan maka itu adalah takaran HAM di Indonesia, maka penegakan HAM di
Indonesia adalah implementasi pasal 10 KUHP tadi.
Mirisnya saat ini,
KPK yang seharusnya diperkuat, didukung dan dilindungi kenyataannya digunduli
dan ditelanjangi kewenangannya dalam menjalankan kinerjanya, ini wujud dari
kemunduran hukum di Indonesia, seperti dilansir KOMPAS.com pakar Hukum Tata
Negara Refly Harun menilai semua poin-poin revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bentuk
pelemahan KPK, alih-alih penguatan. Alumni Fakultas Hukum Gadjah Mada ini
menegaskan ada 5 pasal yang sangat jelas melemahkan KPK, yaitu Pertama pasal
pasal 5 dan pasal 73 revisi UU KPK yang menyebutkan bahwa usia KPK hanya 12
tahun setelah revisi UU KPK disahkan, kedua pasal 53 revisi UU KPK yang
menghapus tugas dan kewenangan KPK di bidang penuntutan, ketiga pasal 14
ayat (1) huruf a revisi UU KPK dalam pasal tersebut KPK wajib memperoleh
penyadapan dari ketua Pengadilan Negri, keempat
pasal 13 revisi UU KPK menjelaskan bahwa KPK tidak bisa menangani kasus
yang nilai kerugian dibawah 50 miliar dan kasus tersebut harus dilimpahkan
kepada kepolisian dan kejaksaan, kelima pasal 41 ayat (3) revisi UU KPK
dimana penyelidik dan penyidik KPK hanya dapat dipilih dari usulan kepolisian
dan kejaksaan .
Jika batasan usia
kerja KPK dibatasi hanya 12 tahun ini sama saja menyempitkan gerak KPK dalam
penyelesaian tugas KPK begitu pula dalam hal penuntutan. Kemudian jika diamati
prestasi KPK dalam menyudutkan dan membawa para koruptor ke meja hijau tidak
lepas dari penyadapan yang menjadi senjata pamungkas KPK dalam menguak kasus
tindak pidana korupsi, jika kewenangan penyadapan dibatasi bahkan dihilangkan
sama saja melucuti senjata utama KPK dalam hal ini yaitu penyadapan. Karna
sejatinya ketua pengadilan negri pun bisa menjadi subjek dari penyadapan
tersebut. Kemudian pembatasan kewenangan dalam hal menangani kasus yang diatas
50 miliar sama halnya dengan menjadikan KPK sebagai pengangguran abadi, karna
sebagian besar kasus yang KPK ungkap adalah tindak pidana korupsi yang dibawa
angka 50 miliar.
Maka kami sebagai
warga negara ingin bertanya kepada bapak presiden Indonesia, apakan akan terus
diam melihat fenomena yang terus diperbincangkan oleh masyarakat, apakah bapak
presiden akan lebih memilih Indonesia menernak para koruptor di tanah hijau
yang kita banggakan ini. sejatinya ini adalah momentum dimana bapak presiden
menunjukan dukungan terhadapa pemberantasan korupsi yang selalu bapak presiden
ucapkan ketika masa kampanye lampau. Ini adalah kesempatan untuk mendukung
konstiutusi kita dalam mewujudkan citanya yaitu mencerdaskan dan
mensejahterakan kehidupan bangsa yaitu antara lain dengan mendukung
pemberantasan korupsi. Anda adalah pemegang kemudi bahtera bangsa ini untuk
menuju pada kesejahteraan yang diimpikan, maka kemudikanlah bahtera demi, untuk
dan bersama rakyat.
Jokowi bisa
dinilai sebagai kunci penguatan atau pelucutan KPK, karna presiden mempunya hak
prerogative yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga negara lainnya. Secara
umum presiden dapat menolak pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi
dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Supres) untuk melakukan pembahasan
revisi UU KPK, pernyataan ini mengacu pada pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang
menyebutkan setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan
bersama serta pasal 49 dan 50 UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan peraturan Perundang-undangan yang menyatakan pembahasan suatu RUU
dapat dilakukan ketika presiden menerbitkan Supres (KOMPAS.com/Minggu 11/10/2015).
Jika presiden
berani untuk tidak menerbitkan Supres bukan berarti presiden anti DPR atau
faktor politik lain yang bisa dikaitkan dengan dualisme kubu yang selama ini
tumbuh dalam DPR, karna sejatinya 6 fraksi yang mendukung penuh terhadap revisi
UU KPK ini adalah sebagian besar dari kubu pro pemerintah, maka jika keputusan
Jokowi demikian maka itu adalah murni kebijakan dari presiden untuk kepentingan
rakyat banyak. Presiden harus berani menentukan sikap untuk memerangi korupsi,
bukan selalu meminta pertimbangan orang-rang yang berada disekelilingnya, karna
tidak menutup kemungkinan orang yang berada disekelilingnya adalah salah satu
yang mendukung penuh pelumpuhan KPK, maka Idealisme dari seorang pemimpin yang
rakyat harapkan. Jadilah presiden yang bisa kami banggakan pak!
Jarzed, Jakarta 12 oktober 2015