PT
Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan
Copper & Gold Inc.. PT Freeport Indonesia menambang,
memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga,
emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di kabupaten
Mimika, provinsi Papua, Indonesia. Freeport Indonesia
memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh
penjuru dunia. Dalam hal ini yang sering menjadi perdebatan adalah kontrak
karya yang digunakan PTFI dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Selain dari
pada itu, limbah yang dihasilkan oleh kegiatan PTFI dalam hal ini juga banyak
menuai kontroversi. Tapi dalam hal ini haruslah diakui bahwasanya PTFI
merupakan salah satu cadangan terbesar terhadap pemasukan negara.
Jika
kita mengkaji lebih rinci dalam hal ini, PTFI tidak sepenuhnya dapat dikambing
hitamkan terhadap permasalahan-permasalahan yang kerap muncul, seperti dalam
hal kerusakan lingkungan, keselamatan para pekerja, pemanfaatan pekerja pribumi
yang minim dan lain-lain.
PTFI
dalam hal ini mempunyai peran besar terhadap pemasukan kas negara yang
selayaknya selalu menjadi pertimbangan negara untuk terus menjalin kerja sama
antara pemerintah Indonesia dan PTFI, ada beberapa alasan mengapa pemerintah
Indonesia sampai saat ini menjalin kerja sama yang baik dengan PTFI diantaranya
menurut hemat penulis adalah:
- Menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 24.000 orang di Indonesia (karyawan PTFI terdiri dari 69,75% karyawan nasional; 28,05% karyawan Papua, serta 2,2% karyawan Asing).
- Menanam Investasi > USD 8,5 Miliar untuk membangun infrastruktur perusahaan dan sosial di Papua, dengan rencana investasi-investasi yang signifikan pada masa datang.
- PTFI telah membeli > USD 11,26 Miliar barang dan jasa domestik sejak 1992.
- Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, PTFI telah memberikan kontribusi lebih dari USD 37,46 Miliar dan dijadwalkan untuk berkontribusi lebih banyak lagi terhadap pemerintah Indonesia hingga lebih dari USD 6,5 Miliar dalam waktu empat tahun mendatang dalam bentuk pajak, dividen, dan pembayaran royalti.
- Keuntungan finansial langsung ke pemerintah Indonesia dalam kurun waktu empat tahun terakhir adalah 59%, sisanya ke perusahaan induk (FCX) 41%. Hal ini melebihi jumlah yang dibayarkan PTFI apabila beroperasi di negara-negara lain.
- Kajian LPEM-UI pada dampak multiplier effect dari operasi PTFI di Papua dan Indonesia di 2011: 0,8% untuk PDB Indonesia, 45% untuk PDRB Provinsi Papua, dan 95% untuk PDRB Mimika.
- Membayar Pajak 1,7% dari anggaran nasional Indonesia.
- Membiayai >50% dari semua kontribusi program pengembangan masyarakat melalui sektor tambang di Indonesia.
- Membentuk 0,8% dari semua pendapatan rumah tangga di Indonesia.
- Membentuk 44% dari pemasukan rumah tangga di provinsi Papua.[1]
Kontribusi yang PTFI berikan dalam
hal ini merupakan kontribusi yang patut diapresiasikan kepada PTFI, dalam hal
ini pemerintah dan masyarakat harus selayaknya mengakuinya.
Dalam perjalanan kegiatan usahanya
PTFI telah menyiapkan data-data yang menjadi alasan pembenar dan atau jawaban
terhadap gugatan-gugatan yang dilayangkan kepadanya. Karna pada dasarnya
kegiatan usaha tidak selamanya berjalan mulus seperti yang pelaku usaha
inginkan, maka dalam hal ini PTFI telah menyiapkan antisipasi-antisipasi dalam
pembelaan menghadapi berbagai macam jenis gugatan pada diri korporasi yang
berasal dari negri Paman Sam ini, penulis ingin menguraikan beberapa data yang
PTFI miliki diantaranya:
1.
Terhadap kerusakan-kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh kegiatan PTFI yang meliputi pencemaran sungai, hutan, ikan dan
flora dan fauna. Dalam hal ini penambangan yang dilakukan PTFI sebenarnya telah
memenuhi standar analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), PTFI
terus mengevaluasi potensi dampak operasi tambang melalui pengukuran mutu air,
biologi, hidrologi, sedimen, mutu udara dan meteorology secara menerus
2.
Tentang limbah yang dihasilkan PTFI kurang
lebih 300.000 ribu ton/hari yang sangat berbahaya terhadap kelangsungan hidup
makhluk bernyawa yang ada disekirat tambang. Dalam hal ini PTFI memberikan
klarifikasi bahwasanya PTFI dalam sangat berhati-hati dan menerapkan sistem
yang ketat dalam pengelolaan limbahnya, tentang
pengaturan tailing dan seluruh aspek dari operasinya yang memiliki dampak
terhadap lingkungan. Dampak lingkungan dari kegiatan PTFI adalah overburden
(batuan penutup) dan tailing. Oleh sebab itu pengelolaan utama lingkungan hidup
PTFI difokuskan kepada kedua hal tersebut. Upaya pencegahan air asam dilakukan
dengan mencampurkan overburden yang berupa batu kapur dengan overburden yang
berpotensi menghasilkan asam dengan proporsi yang cukup. Untuk meminimumkan
dampak, tailing dialirkan ke dataran rendah dan diendapkan di antara dua
tanggul. Segera setelah memungkinkan, endapan tailing akan direklamasi.
3.
Persepsi
bahwasanya PTFI memberikan upah dibawah standar, dan masyarakat sekitar tidak
dilibatkan dalam kegiatan usaha tambang ini, tidak sebanding atas apa yang
mereka dapatkan dari tanah papua tersebut. Faktanya Pada tahun 2012 PT Freeport
Indonesia mempekerjakan lebih dari 11.700 karyawan langsung dan lebih dari
12.400 karyawan kontraktor. Jumlah karyawan langsung PTFI: 64,04% Non Papua,
34,63% Papua, dan 1,33% Asing. Kebijakan Freeport Indonesia adalah untuk terus
mempekerjakan lebih banyak pegawai yang berasal dari Papua. Freeport Indonesia
mendirikan Institut Pertambangan Nemangkawi, sebuah sekolah tinggi untuk
mempersiapkan tenaga-tenaga kerja asal Papua yang terampil untuk bekerja di
area perusahaan. Sekolah itu telah mendidik dan melatih ribuan pemuda asli
Papua dimana saat ini mereka telah bekerja di PT Freeport maupun berbagai
perusahaan kontraktor serta privatisasinya.[2]
Dan
masih banyak lagi klarifikasi yang seharusnya PTFI berikan terhadap keingintahuan
mayarakat atas pertanggungjawaban yang sejatinya PTFI harus penuhi.
Setelah
berbagai kontibusi yang PTFI berikan kepada negara Indonesia, penulis
berpendapat itu masih dibawah standar yang seharusnya PTFI penuhi pada negara
kesatuan Indonesia. Benar jika dikatakan semua kontribusi itu tidak sebanding
dengan hasil keuntungan sumber daya alam yang mereka nikmati dana mereka
pergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan korporasi yaitu dalam hal ini
adalah PTFI.
Maka
penulis mengkritisi kebijakan-kebijakan Pemerintah yang memberikan terlalu
lebih keistimewaan terhadap PTFI, baik itu dari kebijakan kontrak karya yang
sampai saat ini masih terus berjalan sampai jangka waktu yang ditentukan, dan
juga kebijakan royalty yang seharusnya pemerintah dapatkan lebih dari yang
mereka berikan pada negara Indonesia. Secara ringkas kritisi yang ditulis oleh
penulis dapat diseimpulkan kurang lebih demikian:
1.
Dalam hal penguasaan sumber daya alam,
seharusnya negara yang memiliki kekuasaan mutlak mengendalikan dan memanfaatkan
kekayaan alam Indonesia terlebih dalam pertambangan demi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Jadi dalam hal ini memberikan penguasaan pengelolaan dan
pengurusan tambang Indonesia terhadap asing merupakan perlawanan terhadap
ketentuan UUD 1945, yaitu dalam hal ini tertuang dalam pasal 33.
2.
Mengenai kebijakan kontrak karya pemerintah
dengan PTFI, sejatinya kebijakan kontrak karya ini memiliki banyak kerugian
terhadap pemerintah Indonesia, yaitu dalam hal ini seluruh management,
oprasional, diserahkan seluruhnya pada penambang dalam hal ini PTFI, jadi dalam
hal ini pemerintah tidak memiliki kontrol apa-apa dalam hal management, maka
kedaulatan negara dipertanyakan disini.
Berbeda dengan kontrak kerja, yang mana pemerintah memiliki kontrol atas
management dan oprasionalnya. Jadi dalam hal ini apapun yang terjadi harus
seizing pemerintah
3.
Terdapat penyimpangan-penyimpangan regulasi
dalam pelaksanaan kegiatan PTFI, terutama dalam pemindahan penduduk yang ada
dalam kontrak karya. Dalam hal ini jelas sangat bertentangan dengan UU Pokok
Agrasia pasal 3. Pasal tersebut sudah jelas menjelaskan bahwa negara mengakui
hak ulayat (adat), sedangkan kenyataannya PTFI memberikan konsensi yang
terletak tanah tersebut.
4.
Besarnya royalty yang dibayarkan PTFI lebih
rendah dari pada yang diwajibkan dalam PP No. 45 tahun 2003 tentang tariff atas
penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementrian energy dan sumber
daya mineral. PTFI seharusnya membayar 3,75% royalty untuk emas, tembaga 4%
dari harga jual per kilogram, perak 3,25% dari harga jual per kilogram,
kenyataannya PTFI masih mengacu pada kontrak karya tahun 1991 yaitu besar
royalty tembaga 1,5 %, emas dan perak hanya sebesar 1%.
Penulis dalam
hal ini memberikan petisi pada pemerintah untuk segera mengubah bentuk kontrak
dengan PTFI dari kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan (IUP) agar
kedaulatan negara kita tetap terwujud dalam proses perjanjian antara pemerintah
dan PTFI, atau harapan yang lebih besar lagi adalah pemerintah dapat mengambil
alih semua saham dari PTFI dan mengelola sumber daya alam di tanah kita sendiri
dengan mandiri.
Jarzed