BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pencucian uang adalah proses pengubahan dana
ilegal menjadi dana dan aset yang sah. Dana berasal dari perdagangan
narkoba, penggelapan pajak, penyelundupan, pencurian, terorisme, perdagangan
senjata, praktek korupsi dan aktivitas ilegal lainnya. Peran dan kekuatan
pelaku kejahatan secara substansial meningkat dengan melakukan pencucian uang.
Problematik pencucian uang yang dalam bahasa
Inggeris dikenal dengan nama “money laundering” sekarang mulai dibahas dalam
buku-buku teks, apakah itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata
problematik uang haram ini sudah meminta perhatian dunia internasional karena
dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu
fenomena kejahatan yang menyangkut terutama dunia kejahatan yang dinamakan
“organized crime”, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati
keuntungan dari lalulintas pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian
yang ditimbulkan. Erat bertalian dengan hal terakhir ini adalah dunia perbankan
yang pada satu pihak beroperasional atas dasar kepercayaan para konsumen, namun
pada pihak lain, apakah akan membiarkan kejahatan pencucian uang ini terus
merajalela.
Money laundering adalah suatu praktek pencucian
uang panas atau kotor (dirty money). Uang kotor ini, berasal dari
praktek-praktek haram dan illegal seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan,
serta tindak pidana perbankan dan praktek-praktek tidak sehat lainnya. Untuk
membersihkannya uang tersebut ditempatkan pada suatu bank atau tempat tertentu
untuk sementara waktu sebelum akhirnya dipindahkan ke tempat lain (layering),
misalnya melalui pembelian saham di pasar modal, transfer valuta asing atau
pembelian suatu asset. Setelah itu, si pelaku akan menerima uang yang sudah
bersih dari ladang pencucian berupa pendapatan yang diperoleh dari pembelian
saham, valuta asing atau asset tersebut (integration). Proses inilah yang
dinamakan money laundering, karena mengubah uang kotor menjadi bersih tak
berbekas melalui proses keuangan yang sah.
Pelaku dari money laundering sebagai kejahatan
terorganisir, dilakukan oleh orang yang menguasai atau mempunyai pengetahuan
khusus di dunia penyedia jasa keuangan. Bahkan mereka harus menguasai ilmu
pengetahuan di bidang komputer.
Salah satu contoh kasus money laundering ialah
kasus Bank Global. Pembobolan bank tersebut bukan dilakukan melalui suatu
teknik yang canggih, melainkan karena adanya niat buruk dari pengelola bank
yang memanfaatkan kelengahan pengawasan BI maupun Bapepam. Maka dari itu
pemerintah menutup Bank Global. Pada waktu dibekukan kegiatan usahanya, Bank
Global sudah nyaris kolaps. Angka Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio
kecukupan modalnya sudah berada pada titik minus 39 persen. Dengan adanya
indikasi berbagai pelanggaran ditambah dengan ketertutupan dari pihak
manajemen, maka BI kemudian bertindak lebih tegas, yakni membekukan kegiatan
usaha dengan tujuan demi menyelamatkan asset, mencegah kerugian lebih besar
lagi, serta yang utama ialah mengamankan dana nasabah.
Perumusan Masalah
1. Apa
Pengertian Money Loundering?
2. Bagaimana
Perkembangan Tata Cara Money Loundering?
Tujuan Pembahasan
1. Agar
Mengetahui Pengertian Money Loundering
2. Agar
Mengetahui Perkembangan Tata Cara Money Loundering
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Money Loundry
Pencucian uang (Inggris:Money Laundering)
adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi
keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari
kegiatan yang sah/legal.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil
dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya
sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan
Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh
karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan
integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat
membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
B.
Hukum Pencucian Uang di Indonesia
Di Indonesia,
hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:
Pertama
Tindak pidana
pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal
3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Kedua
Tindak pidana pencucian uang pasif yang
dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau
menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut
dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi
Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).
Ketiga
Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula
bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan
kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama
dengan melakukan pencucian uang.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang
adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20
tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.
Hasil Tindak
Pidana Pencucian Uang (Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)
(1) Hasil tindak
pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b.
penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f.
penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di
bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m.
perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q.
penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di
bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di
bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan
pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia.
(2) Harta
Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan
secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme,
atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf n.
C.
Model Money Loundry
Kegiatan pencucian uang melibatkan aktivitas
yang sangat kompleks. Pada dasarnya, kegiatan tersebut terdiri dari tiga
langkah yang masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan
bersama-sama yaitu placement, layering, dan integration.
a.
Placement
Placement diartikan sebagai upaya untuk
menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan ke dalam sistem
keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dan uang tunai baik melalui
penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara lain, menggabungkan antara
uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil
kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam
sistem perbankan, misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau
saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer
uang ke dalam valuta asing.
b.
Layering
Layering diartikan sebagai memisahkan hasil
kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui
beberapa tahapan tranaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan
dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke
tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk
menyamarkan/mengelabui sumber dana ”haram” tersebut. Layering dapat pula
dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin perusahaan-per usahaan fiktif
dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
c.
Integration
Integration adalah upaya menggunakan harta
kekeyaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke
dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk
membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakjukan pencucian uang,
pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan biaya yang
harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah menyamarkan atau menghilangkan
asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara
aman. Ketiga kegiatan di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan,
namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Modus operandi pencucian uang
dari waktu ke waktu semakin komppleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa
keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering,
maupun integration., sehingga penanganannya pun semakin sulit dan membutuhkan
peningkatan peningkatan (capacity building) secara sitematis dan
berkesinambungan.Jadi dalam integration, begitu uang tersebut telah berhasil
diupayakan proses pencuciannya melalui cara layering, maka tahap selanjutnya
adalah menggunakan uang yang telah menjadi “uang halal” (clean money) untuk
kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi
kejahatan yang mengendalikan uang tersebut.Kesemua perbuatan dalam proses
pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini dana yang begitu
besar dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk
terus berproses dalam dunia kejahatan terutama yang menyangkut narkotika..
Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para
pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka
menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan
yang harus ditanganin jika ingin menggagalkan praktik kotor pencucian uang
haram ini, yaitu kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan
efesiensi transaksi.
Adapun perihal
proses pencucian uang, menurut Anwar Nasution, ada empat factor yang dilakukan
dalam proses pencucian uang. Pertama, merahasiakan siapa pemilik yang
sebenarnya maupun sumber uang hasil kejahatan itu. Kedua, mengubah bentuknya
sehingga mudah untuk dibawa kemana-mana. Ketiga, Merahasiakan proses pencucian
uang itu sehingga menyulitkan pelacakan oleh bpetugas hukum. Keempat, mudah
diawasi oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya.
D. Pencegahan
dan Penanggulangan pencucian uang
Pemberantasan kegiatan money laundering
(pencucian uang) dapat dilakukan melalui pendekatan pidana atau pendekatan
bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi
Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan
pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in
Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi
oleh Pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi
tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan
pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah
agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau
menyita hasil perdagangan obat bius. Di bawah ini hádala beberaa langkah yang
telah diambil Pemerintah RI untuk menindaklanjuti
komitmen
pemberantasan kegiatan pencucian uang.
a.
Undang-undang Yang Berkaitan dengan
Psikotropika
Pemerintah
telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
psikotropika, antara lain UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi
Psikotropika 1971,UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Di samping itu,
terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran
Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika. Dalam UU ini diatur antara lain
mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran
psikotropika agar hal-hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana kegiatan
pencucian uang.
b.
Undang-undang Yang Berkaitan dengan Narkotika
Pemerintah
telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
narkotika, antara lain UU N. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, UU No. 22 Tahun 1977 tentang
Narkotika yang menggantikanUU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU Narkotika
ini mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus
mencegah dan memberantas bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1997 disebutkan, bahwa narkotika dan
peralatan yang dipergunakan dalam pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya
dapat disita untuk negara.
c.
UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Pasal 31 ayat
(1) mengatur sebagai berikut: “Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk
menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu
apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga
merupakan tindak pidana di bidang perbankan”.
Penjelasan atas
ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan tranaksi tertentu
antara lain hádala transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari
kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini tentunya termasuk pula kegiatan
pencucian uang.
d.
UU No. 24 Tahun 1999 tentang LALU Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar
Sebagaimana
diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pergerakan dana
dalam transaksi internacional. UU No. 24/1999, secara tidak langsung memberikan
landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal 3 ayat (2), misalnya, mengatur
sebagai berikut:
“Setiap
penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas
devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Keterangan dan
data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau
maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku
transaksi.
e.
Ketentuan Bank Indonesia
Banyak sekali
ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara langsung atau tidak
langsung dapat mencegah atau memberantas kegiatan money laundering secara
administratif,
antara lain:
1. Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang
Perubahan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau
Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia.
Berdasarkan ketentuan SK Dir. BI ini setiap orang yang membawa mata uang Rupiah
ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) wajib mengisi formulir deklarasi. Selain itu,
bagi setiap
orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI
dengan jumlah lebih dari Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) selain
wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank
Indonesia.
2. Surat
Cara Pembelian Saham Bank Umum
Pasal 6 huruf b
menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian saham bank dalam
rangka kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan money laundering.
3. PBI No.
2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum
Pasal 6 ayat
(1) huruf j dari PBI ini mengatur bahwa dalam rangka permohonan izin pendirian
bank umum, calon pemegang saham bank wajib melampirkan surat pernyataan bahwa
setoran awal bank tidak berasal dari dan untuk tujuan money laundering.
Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan dalam
rangka kepemilikan bank atau
pembelian saham
bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang.
4. PBI No.
1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience
Director) dan
Penerapan Standar Pelaksanaan Fungís audit. Intern Bank Umum PBI ini bertujuan
untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini
bank diwajibkan untuk menugaskan salah satu anggota direksinya sebagai
Compliance Director yang memastikan bahwa bank telah memenuhi ketentuan Bank
Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk perbankan. Bank
juga diwajibkan untuk membentuk Satuan kerja Unit Intern yang bertugas
melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara keseluruhan.
5.
PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit
Valas oleh Bank
Dalam ketentuan
ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi tertentu oleh bank
terhadap WNA, badan hukum asing lainnya, WNI yang memiliki status penduduk tetap
negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, kantor bank/badan hukum
Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini sekurangkurangnya dapat menjadi sarana
yang kondusif untuk mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan
kegiatan pencucian uang.
6. Peraturan
Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal
Nasabah (Know
Your Customers Principles)
Sebagai salah
satu entri bagimasuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau jasa keuangan
lain harus mengurangi resikomdipergunakan sebagai sarana pencucian uang dengan
cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan
memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan tansaksi keuangan yang
mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak bank atau
perusahaan jasa keuangan lain. Penerapan prinsip mengenal nasabah atau lebih
dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC Principle) ini didasari
pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian
uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi
bank atau perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai risiko dalam berhubungan
dengan nasabah dan counter-party.
Khususnya
terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus mengenali para
nasabah, agar bank atau jasa keuangan lain tidak terjerat dalam kejahatan
pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan rekomendasi FATF, yang
merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles For
effective Banking Supervision dan Bassel Committee .
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka Prinsip KYC pada dasarnya
bertujuan untuk
:
a. membantu
bank agar dapat mendeteksi sesegara mungkin setiap aktivitas yang mencurigakan
yang dilakukan nasabah;
b. memastikan
kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang berlaku;
c. menegakkan
prinsip kehati-hatian dalam praktek perbankan;
d. mengurangi
risiko dimanfaatkannya bank sebagai sarana untuk melakukan aktivitas kejahatan.
e. melindungi
reputasi bank.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pemerintah,
termasuk Bank Indonesia, telah melakukan langkah-langkah yang lumayan konkret,
tetapi hasilnya belum cukup untuk upaya mencegah dan memberantas money
laundering. Di samping itu, Lembaga Legislatif (DPR) juga telah membuat suatu
aturan Perundang-Undangang yang mengatur Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
karena pencucian uang sudah ditetapkan menjadi suatu Tindak Pidana.
Undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang Yang di undangkan pada Tanggal 17 April 2002. Undang-tersebut diubah
karena dianggap kurang efektif dalam memberantas tindak pidana pencucian uang.
Dan dalam Undang-undang ini telah dibentuk Suatu badan yang independen
yang bertanggung jawab langsung kepada presiden dan untuk membantu
pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu Pusat Pelaporan Dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK).
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang
diakses pada minggu 27 oktober 2013
wastika, Benny.
2011. Penerapan Asas Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang. FH UI: Jakarta.
Indriati,
Santi. 2010. Tindak Pidana Pajak dan Money Laundering. Jakarta.
Iza, Fadri.
1994. “Seminar Nasional Pemutihan Uang Hasil Kejahatan (Money Laundering
Crime), www.Legalitas.org
Komariah,
Rukiah.2010. Artikel “Tindak Pidana Perpajakan dalam Penghindaran Penyimpangan,
Penipuan dan Pemalsuan Pajak”. www.legalitas.org