Korupsia dan Gratifikasi
Pendahuluan
Permasalahan korupsi merupakan permasalahan serius dalam suatu bangsa dan
merupakan kejahatan yang luar biasa serta dapat menggoyahkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan
pencegahan korupsi telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi hasil yang
dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini berdampak semakin
melemahkan citra Pemerintah dimata masyarakat, yang tercermin dalam bentuk
ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan
bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Apabila tidak ada perbaikan yang
berarti, maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan
bangsa.
Cukup banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang dibuat
sejak tahun 1957, sebenarnya memperlihatkan besarnya niat bangsa Indonesia
untuk memberantas korupsi hingga saat ini, baik dari sisi hukum pidana material
maupun hukum pidana formal (hukum acara pidana). Namun demikian, masih ditemui
kelemahan yang dapat disalahgunakan oleh pelaku korupsi untuk melepaskan diri
dari jerat hukum.
Terlepas dari kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan,
permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan sikap dan
perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan
sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem sosial
yang terbentuk dalam masyarakat telah melahirkan sikap dan perilaku yang
permisif dan menganggap korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal.
Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat tampil
dalam bermacam-macam bentuk. Secara umum bentuk ini mengandung karakteristik sebagai
berikut :
a. Adanya pelaku, baik sendiri ataupun bersama-sama, baik yang berupa
pegawai negeri maupun non pegawai negeri.
b. Adanya penyimpangan/perbuatan melanggar hukum.
c. Adanya unsur merugikan negara (langsung maupun tak langsung), tangible
maupun non tangible.
d. Adanya unsur atau bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri/keluarga/
kroni.
Keprihatinan pemerintah dewasa ini dan peliknya karakteristik korupsi
sebagaimana diuraikan di atas sudah selayaknya disikapi secara bersama-sama
oleh seluruh aparat pemerintah, tulisan ini mencoba memberi sumbangan pada
pembahasan itu dengan mengangkat topik, sejauh mana pengawasan dapat berperan
dalam pemberantasan korupsi.
II. Permasalahan
Penyebab korupsi dapat dikelompokkan ke dalam aspek institusi/ administrasi,
aspek manusia, dan aspek sosial budaya. Ketiga aspek penyebab tersebut saling
berinteraksi satu dengan lainnya sehingga menyebabkan terjadinya potensi dan
kejadian korupsi.
Di dalam suatu organisasi, faktor pendorong korupsi antaralain termanifestasikan
dalam bentuk tekanan, pembenaran, serta kesempatan untuk melakukan korupsi.
Dari luar organisasi, dorongan dan pengaruh bagi tindak pidana korupsi akan
dapat dijumpai dari sikap publik yang permisif terhadap cara dan akibat korupsi
sehingga secara relatif dapat diartikan sebagai memfasilitasi pelaksanaan
korupsi.
Dampak korupsi sangat berbahaya bagi individu,
kelompok individu, organisasi, masyarakat, institusi, bahkan bangsa dan negara.
Dampak tersebut dapat dirasakan seketika maupun secara perlahan-lahan, namun
pasti. Secara
umum dampak itu dapat berupa kerugian negara, ekonomi berbiaya tinggi,
inefisiensi dan mis alokasi sumber daya negara, atau kompetisi yang tidak
sehat. Selanjutnya, semua dampak ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang
tinggi tingkat risikonya sehingga tidak menarik bagi dunia investasi global.
Akan tetapi, yang tak kalah memprihatinkan adalah dampak korupsi bagi
pembentukan sikap pandang masyarakat sehari-hari. Ditengarai, masyarakat dewasa
ini cenderung tidak berkeberatan atau setidaknya abai tentang perilaku korupsi.
Akibatnya, kondisi yang serba abai ini akan dapat menjelma menjadi serba
mengijinkan (permisif). Lama-kelamaan kondisi sosial ini akan berpotensi
memberi ruang pembenaran bahkan kesempatan bagi pelaksanaan korupsi. Karena,
bukannya menjadi sumber nilai-nilai yang benar, baik dan pantas, kondisi sosial
yang serba mengijinkan ini justru akan dapat menimbulkan kekaburan patokan
nilai-nilai. Akibatnya korupsi pun menjadi hal yang biasa. Termasuk didalam kebiasaan
melakukan pungutan tambahan atas proses pengurusan pembayaran pajak, perijinan,
pengurusan pasport dan pengurusan KTP, maupun penerimaan baik berupa barang
atau uang yang diterima oleh penyelenggara negara maupun pegawai negeri apabila
ada kaitan langsung terhadap tugasnya. Maka penerimaan tersebut dapat
dikategorikan penerimaan gratifikasi. Di dalam Undang-undang No.20 tahun 2001
pasal 12b pemberian gratifikasi tersebut dianggap perbuatan suap dan masuk
kategori korupsi.
III. Konsep Pemberantasan Korupsi
Dikaitkan dengan permasalahan korupsi yang telah diuraikan terdahulu, maka
upaya memberantas korupsi dilakukan dengan konsep yang mampu mencegah dan
menanggulangi korupsi. Konsep tersebut hendaknya meyakinkan bahwa :
a. Organisasi pemerintahan mampu mencegah, menangkal serta dapat
denganmudah untuk mendeteksi kejadian korupsi melalui serangkaian upaya
kegiatan menurut pendekatan preventif.
b. Jika belum dapat atau tidak dapat mencegah, setiap organisasi
pemerintahan dapat segera mendeteksi, mengungkapkan fakta kejadian, dan
menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui serangkaian
kegiatan menurut pendekatan investigatif/Represif.
c. Setiap organisasi pemerintahan perlu berupaya meningkatkan kepedulian
individu di dalam dan di luar organisasi untuk dapat mendorong peran memerangi
korupsi sesuai dengan kemampuan/peran yang dimiliki melalui upaya edukatif.
Pendekatan di atas itu kini kita kenal sebagai Pendekatan Tiga Pilar, yaitu
Preventif, Investigatif, dan Edukatif.
Kembali pada topik pengawasan, selama ini pengawasan lebih diartikan
sebagai pemeriksaan atau auditing yang per definisi merupakan kegiatan yang
asosiatif dengan pengumpulan bukti-bukti atas kejadian yang telah terjadi (post
factum). Simpulan yang diperoleh pun akan menjadi dasar bagi pemberian
penilaian dan atau rekomendasi dengan manfaat maksimal berupa pelaksanaan
tindak lanjut yang tentu dari sudut pandang pihak atau sistem yang menjadi
objek tindak lanjut lebih bersifat represif.
Jika pihak yang menjadi objek tidak lanjut adalah koruptor, maka tindak
lanjut represif itu secara umum akan dapat berupa pengenaan kewajiban
penyetoran uang ke kas negara, pengenaan denda, atau bahkan kurungan. Jika yang
menjadi objek tindak lanjut adalah sistem yang telah membukakan kesempatan pelaksanaan
korupsi maka tindak lanjut itu akan dapat mengambil bentuk berupa pengubahan,
penggantian, atau penghapusan sistem dimaksud. Pada keduanya, represi lebih
terlihat sebagai suatu represi formal. Akan tetapi, jika dikembalikan betapa
korupsi sangat terkait dengan kondisi sosial, represi dalam bentuk sanksi
sosial masih kurang terlihat signifikansinya. Bisa jadi, hal ini kembali
disebabkan masih lebih besarnya kesan bahwa masyarakat, sebagai sumber
moralitas, cenderung permisif, kurang atau bahkan tidak peduli terhadap
korupsi.
Dengan demikian, keberhasilan kegiatan memerangi korupsi secara represif,
yaitu setelah korupsi terjadi, adalah bersifat paradoksal.
Walaupun dari hasil pengawasan semakin banyak tindak pidana korupsi yang
dideteksi dan ditindaklanjuti, keduanya sebenarnya bukan merupakan kondisi umum
yang dikehendaki masyarakat. Pada dasarnya, betapa banyaknya pun dideteksi dan
ditindaklanjuti secara represif, korupsi bukan kejadian yang dikehendaki
masyarakat.
Selain itu data empiris menunjukkan bahwa :
a. Melakukan tindakan/upaya setelah korupsi terjadi berarti telah memberi
peluang bagi dampak korupsi untuk timbul (misalnya kerugian keuangan negara,
mis alokasi sumber daya, dll).
b. Waktu yang diperlukan untuk mendeteksi kejadian korupsi rata-rata adalah
delapan belas bulan, sebelum temuan pendeteksian itu ditindaklanjuti dengan
audit yang mendalam dan diproses dengan tindakan hukum. Lamanya waktu
pendeteksian ini membawa konsekuensi berupa biaya pengungkapan kegiatan yang
semakin besar.
c. Semakin kecil selang waktu antara kejadian korupsi dengan upaya
pengungkapan kejadian korupsi, semakin besar kemungkinan keberhasilan
pengungkapan kejadian korupsi.
d. Korupsi adalah kejahatan yang tersembunyi, sehingga semakin lama
kejadian korupsi tidak terungkap semakin memberi peluang pelaku korupsi untuk
menutup-nutupi tindakakannya dengan kecurangan yang lain.
Dengan demikian, kegiatan yang lebih memungkinkan pemberantasan korupsi
yang efektif dan efisien sehingga masuk akal adalah mencegah korupsi sebelum
terjadi. Implementasi dari konsepsi memerangi korupsi yang sistematis dan
konkrit seperti tersebut diatas memerlukan peran pengawasan yang dimaknai tidak
sekedar pengawasan post factum.
Dengan demikian, agar terimplementasikan suatu peran pengawasan yang
sistematis dan konkrit untuk menjembatani antara komitmen pemerintah dalam
memerangi korupsi dengan kegiatan organisasi sehari-hari dalam upaya mencapai
tujuan organisasi, perlu dikembangkan suatu mekanisme pengawasan yang dapat
memfasilitasi penguatan sistem ata kelola suatu organisasi. Karakteristik
pengawasan seperti ini lazim dikenal dalam wacana pengawasan sebagai pengawasan
internal.
Mengingat bahwa korupsi adalah suatu masalah yang bersifat tersembunyi (sengaja
disembunyikan), maka mekanisme pengawasan tersebut ditandai dengan kemampuannya
meyakinkan pemantapan kualitas dari atribut-atribut yang spesifik dari sistem
tata kelola setiap organisasi pemerintah. Atribut-atribut tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Kebijakan yang terintegrasi
b. Struktur pertanggung jawaban
c. Kajian risiko kejadian korupsi
d. Keperdulian pegawai
e. Keperdulian pelanggan dan masyarakat
f. Sistem pelaporan kejadian korupsi
g. Pengungkapan yang dilindungi
h. Pemberitahuan kepada pihak eksternal
i. Standar investigasi
j. Standar perilaku dan disiplin
Konkritnya, pengawasan dapat berperan dalam meyakinkan sejauh mana
kesepuluh atribut di atas telah terwujud dan diterapkan. Manfaat paling awal
dari pengawasan internal yang baik adalah bahwa ia dapat mengumpulkan informasi
mengenai perkembangan perwujudan dari masing-masing atribut.
IV. Simpulan
Apabila pengawasan yang handal, termasuk pengawasan internal
diimplementasikan secara konkrit dan sistematis, maka diharapkan upaya
memerangi korupsi dapat berhasil dengan indikator umum berupa :
a. Semakin banyak organisasi pemerintahan yang mengimplementasikan
mekanisme anti korupsi dengan atribut tersebut diatas.
b. Semakin meningkatnya jumlah dan cakupan informasi kejadian korupsi dari
masyarakat.
c. Semakin banyak kejadian korupsi yang terungkap dan ditindaklanjuti dalam
waktu relatif singkat.
d. Semakin banyak tindakan represif atas kasus korupsi yang didukung dengan
keahlian pengawasan.
Lebih khusus lagi, pengawasan internal diharapkan dapat lebih berperan
dalam memberantas korupsi dengan penekatan preventif, investigatif/repreif dan
edukatif. Memang, dalam kondisi masyarakat yang membutuhkan terapi lanjut, efek
demonstratif pengawasan represif mungkin akan efektif meningkatkan citra
keberhasilan pemberantasan korupsi dalam jangka pendek. Akan tetapi, hal ini
pun sebenarnya sangat bergantung pada kerjasama para penyidik dan pengadilan
untuk menindaklanjuti perkara sehingga dapat menghasilkan keputusan hukum yang
berkepastian dalam porsi yang lebih besar daripada keputusa hukum yang sumir
atau bahkan batal karena pembuktian yang lemah atau dilemahkan.
Adanya mekanisme manajemen yang didukung oleh pengendalian intern yang
didukung oleh kepastian akan sangat memungkinkan menciptakan sistem yang mengurangi
kesempatan korupsi. Kemudian pada akhirnya niat sebagai faktor penimbul korupsi
diyakini akan terhambat oleh sistem yang baik.
Akan tetapi, dalam jangka panjang, keberhasilan pemberantasan ini akan
lebih bergantung pada keberhasilan mengurangi niat dan peluang pembenaran
korupsi. Hal ini secara subtil membutuhkan rekayasa tatanan sosial yang lebih
beretika. Untuk itu, paradoks keberhasilan represif harus diikuti dengan
efektivitas pengawasan preventif dan edukatif.
Disini peran pengawas tidak akan maksimal tanpa diikuti oleh peran profesi
lain seperti sosiolog, politisi, pendidik, ulama dan masyarakat sendiri.
Bagaimanapun, kecenderungan masyarakat untuk abai dan permisif terhadap tindak
korupsi membutuhkan pembangunan mental lebih daripada sekedar penindakan. Jadi
serangkaian kegiatan edukatif dari pihak-pihak tersebut perlu untuk
menumbuhkembangkan sikap yang peduli dan mengarah pada keberpihakan akan
nilai-nilai kebenaran berdasarkan hukum dan etika. Hal ini diyakini akan
mengurangi niat dan pembenaran korupsi. Niat dan pembenaran tindakan korupsi
akan tumbuh bersama sikap abai dan serba mengijinkan akan sangat mempengaruhi
secara negatif penciptaan insan yang berintegritas, baik pada manajemen di
tingkatan pemimpin, pelaksana, maupun masyarakat luas dan juga tentunya
auditor. Integritas inilah yang pada akhirnya, disamping kompetensi dan sumber
daya, yang akan dapat memberi kualitas pencapaian kinerja yang efektif dengan
keyakinan bahwa kinerja itu terbebas dari korupsi.
Bagi pengawas pada umumnya dan pengawas internal pada khususnya, integritas
jelas merupakan salah satu faktor di samping kompetensi dan akseptasi pimpinan
yang akan mendatangkan nilai audit. Tanpa integritas, pengawas yang berkompeten
pun mungkin akan terjebak pada kecenderungan pemenuhan kepentingan sendiri.
Apabila jebakan ini difasilitasi dengan kekuasaan yang kuat dan mentalitas
mengawas demi untuk pengawas dan lembaga pengawas sendiri, maka bukannya
menjadi agen pemberantas korupsi, bisa jadi pengawas sendiri akan menjadi kolutif
antara pemerintah sebagai agen masyarakat yang diawasi dan pengawas sendiri.
Akan lengkaplah kemusykilan bagi pengawasan untuk memberantas korupsi jika
masyarakat sendiri sebagai wadah sosial yang diwacanakan mendambakan kebersihan
dan sumber moralitas ternyata lebih digerakkan oleh sikap dan mentalitas yang
permisif, tidak perduli, dan bahkan aktif menyuburkan niat, kesempatan, dan
pembenaran korupsi. Dalam keadaan begini, mempersoalkan korupsi mungkin harus
diawali dengan pertanyaan, “Apakah kita, aparat pemerintah, pengawas atau bukan
pengawas, dan masyarakat awam secara keseluruhan memang masyarakat yang masih
konsisten dan konsekuen perduli akan korupsi?”
Agen Taruhan Bola, Casino Online Resmi, Agen Sabung Ayam Online, Texasbola.com memberikan Pelayanan Terbaik untuk kepuasan pelanggang pemain game online, Promo Terbaik Pecinta betting online, Selamat Bergabung.
BalasHapusNikmati Promo Terbaik Dari Kami Untuk Pecinta Betting Online :
•PROMO BONUS SPORTBOOK 10% NEW MEMBER
•PROMO BONUS CASHBACK SPORTBOOK 15%
•PROMO BONUS SABUNG AYAM 10% NEW MEMBER
•PROMO BONUS NEXT DEPOSIT 5%
•PROMO BONUS CASHBACK 5% SABUNG AYAM SETIAP MINGGU NYA
•PROMO BONUS CASINO 10 NEW MEMBER
•PROMO BONUS ROLLINGAN 07-1% SETIAP MINGGU NYA
•BONUS REFERRAL 1.5 & 10 %
Untuk informasi lebih lengkap silahkan hubungi kami dibawah ini:
• PIN BB : 2B6802A4 / D8CE2524
• LINE ID : texasbola
• Whats Up : +6282275282558 / +6285361221912
• Yahoo : Texasbola@yahoo.com
• Instagram : texasbola_303
• LIVE CHAT : texasbola.com
Ayo buruan daftarkan diri anda segera dan ajak temanmu bergabung bersama kami!! Dapatkan pendapatan SPEKTAKULER Setiap Minggu nya dari http://texasbola.com/