Senin, 31 Maret 2014

KORUPSI DAN GRATIFIKASI



Korupsia dan Gratifikasi
Pendahuluan
Permasalahan korupsi merupakan permasalahan serius dalam suatu bangsa dan merupakan kejahatan yang luar biasa serta dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan korupsi telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi hasil yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini berdampak semakin melemahkan citra Pemerintah dimata masyarakat, yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.
Cukup banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang dibuat sejak tahun 1957, sebenarnya memperlihatkan besarnya niat bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi hingga saat ini, baik dari sisi hukum pidana material maupun hukum pidana formal (hukum acara pidana). Namun demikian, masih ditemui kelemahan yang dapat disalahgunakan oleh pelaku korupsi untuk melepaskan diri dari jerat hukum.
Terlepas dari kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan, permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem sosial yang terbentuk dalam masyarakat telah melahirkan sikap dan perilaku yang permisif dan menganggap korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal.
Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat tampil dalam bermacam-macam bentuk. Secara umum bentuk ini mengandung karakteristik sebagai berikut :
a. Adanya pelaku, baik sendiri ataupun bersama-sama, baik yang berupa pegawai negeri maupun non pegawai negeri.
b. Adanya penyimpangan/perbuatan melanggar hukum.
c. Adanya unsur merugikan negara (langsung maupun tak langsung), tangible maupun non tangible.
d. Adanya unsur atau bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri/keluarga/ kroni.
Keprihatinan pemerintah dewasa ini dan peliknya karakteristik korupsi sebagaimana diuraikan di atas sudah selayaknya disikapi secara bersama-sama oleh seluruh aparat pemerintah, tulisan ini mencoba memberi sumbangan pada pembahasan itu dengan mengangkat topik, sejauh mana pengawasan dapat berperan dalam pemberantasan korupsi.
II. Permasalahan
Penyebab korupsi dapat dikelompokkan ke dalam aspek institusi/ administrasi, aspek manusia, dan aspek sosial budaya. Ketiga aspek penyebab tersebut saling berinteraksi satu dengan lainnya sehingga menyebabkan terjadinya potensi dan kejadian korupsi.
Di dalam suatu organisasi, faktor pendorong korupsi antaralain termanifestasikan dalam bentuk tekanan, pembenaran, serta kesempatan untuk melakukan korupsi. Dari luar organisasi, dorongan dan pengaruh bagi tindak pidana korupsi akan dapat dijumpai dari sikap publik yang permisif terhadap cara dan akibat korupsi sehingga secara relatif dapat diartikan sebagai memfasilitasi pelaksanaan korupsi.
Dampak korupsi sangat berbahaya bagi individu, kelompok individu, organisasi, masyarakat, institusi, bahkan bangsa dan negara. Dampak tersebut dapat dirasakan seketika maupun secara perlahan-lahan, namun pasti. Secara

umum dampak itu dapat berupa kerugian negara, ekonomi berbiaya tinggi, inefisiensi dan mis alokasi sumber daya negara, atau kompetisi yang tidak sehat. Selanjutnya, semua dampak ini akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang tinggi tingkat risikonya sehingga tidak menarik bagi dunia investasi global.
Akan tetapi, yang tak kalah memprihatinkan adalah dampak korupsi bagi pembentukan sikap pandang masyarakat sehari-hari. Ditengarai, masyarakat dewasa ini cenderung tidak berkeberatan atau setidaknya abai tentang perilaku korupsi. Akibatnya, kondisi yang serba abai ini akan dapat menjelma menjadi serba mengijinkan (permisif). Lama-kelamaan kondisi sosial ini akan berpotensi memberi ruang pembenaran bahkan kesempatan bagi pelaksanaan korupsi. Karena, bukannya menjadi sumber nilai-nilai yang benar, baik dan pantas, kondisi sosial yang serba mengijinkan ini justru akan dapat menimbulkan kekaburan patokan nilai-nilai. Akibatnya korupsi pun menjadi hal yang biasa. Termasuk didalam kebiasaan melakukan pungutan tambahan atas proses pengurusan pembayaran pajak, perijinan, pengurusan pasport dan pengurusan KTP, maupun penerimaan baik berupa barang atau uang yang diterima oleh penyelenggara negara maupun pegawai negeri apabila ada kaitan langsung terhadap tugasnya. Maka penerimaan tersebut dapat dikategorikan penerimaan gratifikasi. Di dalam Undang-undang No.20 tahun 2001 pasal 12b pemberian gratifikasi tersebut dianggap perbuatan suap dan masuk kategori korupsi.
III. Konsep Pemberantasan Korupsi
Dikaitkan dengan permasalahan korupsi yang telah diuraikan terdahulu, maka upaya memberantas korupsi dilakukan dengan konsep yang mampu mencegah dan menanggulangi korupsi. Konsep tersebut hendaknya meyakinkan bahwa :
a. Organisasi pemerintahan mampu mencegah, menangkal serta dapat denganmudah untuk mendeteksi kejadian korupsi melalui serangkaian upaya kegiatan menurut pendekatan preventif.
b. Jika belum dapat atau tidak dapat mencegah, setiap organisasi pemerintahan dapat segera mendeteksi, mengungkapkan fakta kejadian, dan menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui serangkaian kegiatan menurut pendekatan investigatif/Represif.
c. Setiap organisasi pemerintahan perlu berupaya meningkatkan kepedulian individu di dalam dan di luar organisasi untuk dapat mendorong peran memerangi korupsi sesuai dengan kemampuan/peran yang dimiliki melalui upaya edukatif.
Pendekatan di atas itu kini kita kenal sebagai Pendekatan Tiga Pilar, yaitu Preventif, Investigatif, dan Edukatif.
Kembali pada topik pengawasan, selama ini pengawasan lebih diartikan sebagai pemeriksaan atau auditing yang per definisi merupakan kegiatan yang asosiatif dengan pengumpulan bukti-bukti atas kejadian yang telah terjadi (post factum). Simpulan yang diperoleh pun akan menjadi dasar bagi pemberian penilaian dan atau rekomendasi dengan manfaat maksimal berupa pelaksanaan tindak lanjut yang tentu dari sudut pandang pihak atau sistem yang menjadi objek tindak lanjut lebih bersifat represif.
Jika pihak yang menjadi objek tidak lanjut adalah koruptor, maka tindak lanjut represif itu secara umum akan dapat berupa pengenaan kewajiban penyetoran uang ke kas negara, pengenaan denda, atau bahkan kurungan. Jika yang menjadi objek tindak lanjut adalah sistem yang telah membukakan kesempatan pelaksanaan korupsi maka tindak lanjut itu akan dapat mengambil bentuk berupa pengubahan, penggantian, atau penghapusan sistem dimaksud. Pada keduanya, represi lebih terlihat sebagai suatu represi formal. Akan tetapi, jika dikembalikan betapa korupsi sangat terkait dengan kondisi sosial, represi dalam bentuk sanksi sosial masih kurang terlihat signifikansinya. Bisa jadi, hal ini kembali disebabkan masih lebih besarnya kesan bahwa masyarakat, sebagai sumber moralitas, cenderung permisif, kurang atau bahkan tidak peduli terhadap korupsi.
Dengan demikian, keberhasilan kegiatan memerangi korupsi secara represif, yaitu setelah korupsi terjadi, adalah bersifat paradoksal. Walaupun dari hasil pengawasan semakin banyak tindak pidana korupsi yang dideteksi dan ditindaklanjuti, keduanya sebenarnya bukan merupakan kondisi umum yang dikehendaki masyarakat. Pada dasarnya, betapa banyaknya pun dideteksi dan ditindaklanjuti secara represif, korupsi bukan kejadian yang dikehendaki masyarakat.
Selain itu data empiris menunjukkan bahwa :
a. Melakukan tindakan/upaya setelah korupsi terjadi berarti telah memberi peluang bagi dampak korupsi untuk timbul (misalnya kerugian keuangan negara, mis alokasi sumber daya, dll).
b. Waktu yang diperlukan untuk mendeteksi kejadian korupsi rata-rata adalah delapan belas bulan, sebelum temuan pendeteksian itu ditindaklanjuti dengan audit yang mendalam dan diproses dengan tindakan hukum. Lamanya waktu pendeteksian ini membawa konsekuensi berupa biaya pengungkapan kegiatan yang semakin besar.
c. Semakin kecil selang waktu antara kejadian korupsi dengan upaya pengungkapan kejadian korupsi, semakin besar kemungkinan keberhasilan pengungkapan kejadian korupsi.
d. Korupsi adalah kejahatan yang tersembunyi, sehingga semakin lama kejadian korupsi tidak terungkap semakin memberi peluang pelaku korupsi untuk menutup-nutupi tindakakannya dengan kecurangan yang lain.
Dengan demikian, kegiatan yang lebih memungkinkan pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien sehingga masuk akal adalah mencegah korupsi sebelum terjadi. Implementasi dari konsepsi memerangi korupsi yang sistematis dan konkrit seperti tersebut diatas memerlukan peran pengawasan yang dimaknai tidak sekedar pengawasan post factum.
Dengan demikian, agar terimplementasikan suatu peran pengawasan yang sistematis dan konkrit untuk menjembatani antara komitmen pemerintah dalam memerangi korupsi dengan kegiatan organisasi sehari-hari dalam upaya mencapai tujuan organisasi, perlu dikembangkan suatu mekanisme pengawasan yang dapat memfasilitasi penguatan sistem ata kelola suatu organisasi. Karakteristik pengawasan seperti ini lazim dikenal dalam wacana pengawasan sebagai pengawasan internal.
Mengingat bahwa korupsi adalah suatu masalah yang bersifat tersembunyi (sengaja disembunyikan), maka mekanisme pengawasan tersebut ditandai dengan kemampuannya meyakinkan pemantapan kualitas dari atribut-atribut yang spesifik dari sistem tata kelola setiap organisasi pemerintah. Atribut-atribut tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kebijakan yang terintegrasi
b. Struktur pertanggung jawaban
c. Kajian risiko kejadian korupsi
d. Keperdulian pegawai
e. Keperdulian pelanggan dan masyarakat
f. Sistem pelaporan kejadian korupsi
g. Pengungkapan yang dilindungi
h. Pemberitahuan kepada pihak eksternal
i. Standar investigasi
j. Standar perilaku dan disiplin
Konkritnya, pengawasan dapat berperan dalam meyakinkan sejauh mana kesepuluh atribut di atas telah terwujud dan diterapkan. Manfaat paling awal dari pengawasan internal yang baik adalah bahwa ia dapat mengumpulkan informasi mengenai perkembangan perwujudan dari masing-masing atribut.
IV. Simpulan
Apabila pengawasan yang handal, termasuk pengawasan internal diimplementasikan secara konkrit dan sistematis, maka diharapkan upaya memerangi korupsi dapat berhasil dengan indikator umum berupa :
a. Semakin banyak organisasi pemerintahan yang mengimplementasikan mekanisme anti korupsi dengan atribut tersebut diatas.
b. Semakin meningkatnya jumlah dan cakupan informasi kejadian korupsi dari masyarakat.
c. Semakin banyak kejadian korupsi yang terungkap dan ditindaklanjuti dalam waktu relatif singkat.
d. Semakin banyak tindakan represif atas kasus korupsi yang didukung dengan keahlian pengawasan.
Lebih khusus lagi, pengawasan internal diharapkan dapat lebih berperan dalam memberantas korupsi dengan penekatan preventif, investigatif/repreif dan edukatif. Memang, dalam kondisi masyarakat yang membutuhkan terapi lanjut, efek demonstratif pengawasan represif mungkin akan efektif meningkatkan citra keberhasilan pemberantasan korupsi dalam jangka pendek. Akan tetapi, hal ini pun sebenarnya sangat bergantung pada kerjasama para penyidik dan pengadilan untuk menindaklanjuti perkara sehingga dapat menghasilkan keputusan hukum yang berkepastian dalam porsi yang lebih besar daripada keputusa hukum yang sumir atau bahkan batal karena pembuktian yang lemah atau dilemahkan.
Adanya mekanisme manajemen yang didukung oleh pengendalian intern yang didukung oleh kepastian akan sangat memungkinkan menciptakan sistem yang mengurangi kesempatan korupsi. Kemudian pada akhirnya niat sebagai faktor penimbul korupsi diyakini akan terhambat oleh sistem yang baik.
Akan tetapi, dalam jangka panjang, keberhasilan pemberantasan ini akan lebih bergantung pada keberhasilan mengurangi niat dan peluang pembenaran korupsi. Hal ini secara subtil membutuhkan rekayasa tatanan sosial yang lebih beretika. Untuk itu, paradoks keberhasilan represif harus diikuti dengan efektivitas pengawasan preventif dan edukatif.
Disini peran pengawas tidak akan maksimal tanpa diikuti oleh peran profesi lain seperti sosiolog, politisi, pendidik, ulama dan masyarakat sendiri. Bagaimanapun, kecenderungan masyarakat untuk abai dan permisif terhadap tindak korupsi membutuhkan pembangunan mental lebih daripada sekedar penindakan. Jadi serangkaian kegiatan edukatif dari pihak-pihak tersebut perlu untuk menumbuhkembangkan sikap yang peduli dan mengarah pada keberpihakan akan nilai-nilai kebenaran berdasarkan hukum dan etika. Hal ini diyakini akan mengurangi niat dan pembenaran korupsi. Niat dan pembenaran tindakan korupsi akan tumbuh bersama sikap abai dan serba mengijinkan akan sangat mempengaruhi secara negatif penciptaan insan yang berintegritas, baik pada manajemen di tingkatan pemimpin, pelaksana, maupun masyarakat luas dan juga tentunya auditor. Integritas inilah yang pada akhirnya, disamping kompetensi dan sumber daya, yang akan dapat memberi kualitas pencapaian kinerja yang efektif dengan keyakinan bahwa kinerja itu terbebas dari korupsi.
Bagi pengawas pada umumnya dan pengawas internal pada khususnya, integritas jelas merupakan salah satu faktor di samping kompetensi dan akseptasi pimpinan yang akan mendatangkan nilai audit. Tanpa integritas, pengawas yang berkompeten pun mungkin akan terjebak pada kecenderungan pemenuhan kepentingan sendiri. Apabila jebakan ini difasilitasi dengan kekuasaan yang kuat dan mentalitas mengawas demi untuk pengawas dan lembaga pengawas sendiri, maka bukannya menjadi agen pemberantas korupsi, bisa jadi pengawas sendiri akan menjadi kolutif antara pemerintah sebagai agen masyarakat yang diawasi dan pengawas sendiri.
Akan lengkaplah kemusykilan bagi pengawasan untuk memberantas korupsi jika masyarakat sendiri sebagai wadah sosial yang diwacanakan mendambakan kebersihan dan sumber moralitas ternyata lebih digerakkan oleh sikap dan mentalitas yang permisif, tidak perduli, dan bahkan aktif menyuburkan niat, kesempatan, dan pembenaran korupsi. Dalam keadaan begini, mempersoalkan korupsi mungkin harus diawali dengan pertanyaan, “Apakah kita, aparat pemerintah, pengawas atau bukan pengawas, dan masyarakat awam secara keseluruhan memang masyarakat yang masih konsisten dan konsekuen perduli akan korupsi?”

1 komentar:

  1. Agen Taruhan Bola, Casino Online Resmi, Agen Sabung Ayam Online, Texasbola.com memberikan Pelayanan Terbaik untuk kepuasan pelanggang pemain game online, Promo Terbaik Pecinta betting online, Selamat Bergabung.

    Nikmati Promo Terbaik Dari Kami Untuk Pecinta Betting Online :
    •PROMO BONUS SPORTBOOK 10% NEW MEMBER
    •PROMO BONUS CASHBACK SPORTBOOK 15%
    •PROMO BONUS SABUNG AYAM 10% NEW MEMBER
    •PROMO BONUS NEXT DEPOSIT 5%
    •PROMO BONUS CASHBACK 5% SABUNG AYAM SETIAP MINGGU NYA
    •PROMO BONUS CASINO 10 NEW MEMBER
    •PROMO BONUS ROLLINGAN 07-1% SETIAP MINGGU NYA
    •BONUS REFERRAL 1.5 & 10 %

    Untuk informasi lebih lengkap silahkan hubungi kami dibawah ini:
    • PIN BB : 2B6802A4 / D8CE2524
    • LINE ID : texasbola
    • Whats Up : +6282275282558 / +6285361221912
    • Yahoo : Texasbola@yahoo.com
    • Instagram : texasbola_303
    • LIVE CHAT : texasbola.com

    Ayo buruan daftarkan diri anda segera dan ajak temanmu bergabung bersama kami!! Dapatkan pendapatan SPEKTAKULER Setiap Minggu nya dari http://texasbola.com/

    BalasHapus