SISTEM
OUT SOURCING DALAM KETENAGAKERJAAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003
TENTANG KETENAGAKERJAAN
BAB
I
PENDAHULUAN
Sebagian
besar perusahaan memilih menerapkan kebijakan outsourcing
dalam pemilihan tenaga kerja, karna dinilai lebih mempermudah menjalankan
program pokok perusahaan, selain itu juga dapat meningkatkan daya saing
perusahaan itu sendiri dengan perusahaan yang lainnya.
Ini
jelas berdampak kepada para karyawan outsourcing sendiri yang dirugikan.
Baik dari ketidakpastian kontrak yang diterima, terkadang para karyawan
mendapat potongan gaji yang tidak jelas yang sama sekali tidak mereka ketahui.
Belum lagi jika mereka mendapat PHK akan sulit bagi mereka mendapat pekerjaan
yang baru.
Dari
ini bisa kita liat bahwa nasib para pekerja di perusahaan yang menerapkan
sistem outsourcing menjadi tumpang-tindih. Maka pemerintah dalam
kebijakannya berusaha melindungi para pekerja dengan membuat undang-undang no
13 tahun 2003, yang di dalamnya membahas secara rinci tentang ketenagakerjaan,
bagaimana cara perlindungan pekerja, bagaimana waktu yang ditentukan pemerintah
yang harus dipatuhi perusahaan dalam menentukan jam kerja, bagaimana cara
pengupahan dan banyak lagi yang telah dimuat di dalamnya untuk melindungi para
pekerja.
Maka
dengan dibuatnya makalah ini, InsyaAllah akan dibahas didalalamnya
bagaimana sistem outsourcing ditinjau dari undang-undang no 13 tahun
2003.
BAB
II
ANALISA HUKUM
A.
PENGERTIAN
TENAGA KERJA, OUTSOURCING (ALIH
DAYA) DAN HUKUM KETENAGAKERJAAN
Menurut
undang-undang no. 14 tahun 1969,
tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat (pasal 1).
Jadi
pengertian tenaga kerja menurut ketentuan ini meliputi tenaga kerja yang
bekerja di dalam maupun di luar hubungan kerja, dengan alat produksi utamanya
dalam proses produksi adalah tenaganya sendiri, baik tenaga fisik maupun fikiran.
Cirri khas dari
hubungan kerja tersebut diatas adalah bekerja di bawah perintah orang lain
dengan menerima upah.
Sedangkan
outsourcing sendiri terdiri dari duasuku kata, out dan sourcing,
sourcing artinya mengalihkan kerja, daya, tanggungjawab kepada orang lain.
Dalam dunia bisnis out sourcing sendiri dapat diartikan sebagai penyerahan
sebagaian pelaksanaan yang sifatnya non-core, atau penunjang dari satu
perusahaan ke perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerja atau
penyediaan jasa kerja/buruh.
Outsourcing
atau alih daya adalah pemindahan suatu pekerjaan dari satu perusahaan ke
perusahaan lain yang dilakukan biasanya untuk memperkecil biaya produksi atau
untuk mempusatkan perhatian pada hal yang paling utama di perusahaan itu.
Hukum
ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga kerja. Hukum
ketenagakerjaan semula dikenal dengan istilah perburuhan. Setelah kemerdekaan
ketenagakerjaan di Indonesia diatur dengan ketentuan undang-undang No. 14 tahun
1969 tentang pokok-pokok ketentuan tenaga kerja. Pada tahun 1997 undang-undang
ini diganti dengan undang-undang No. 25 tahun 1997 ternyata menimbulkan banyak
protes dari masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan masalah menara jamsostek yang
dibangun berdasarkan dugaan kolusi penyimpanan dana jamsostek. Keberadaan
undang-undang No. 25 tahun 1997 mengalami penangguhan dan terakhir diganti oleh
undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Apabila
ditelaah dari pengertian istilah, hukum ketenagakerjaan terdiri atas dua kata,
yaitu hukum dan ketenagakerjaan. Hukum dan ketenagakerjaan merupakan dua konsep
hukum. Konsep hukum sangat dibutuhkan apabila kita mempelajari hukum. Konsep
hukum pada dasarnya adalah batasan tentang suatu istilah tertentu. Tiap istilah
ditentukan arti dan batasan maknanya setajam dan sejelas mungkin yang
dirumuskan dalam suatu definisi. Istilah dan arti tersebut diupayakan agar
digunakan secara konsisten. Konsep yuridis (legal konsep) yaitu konsep
kostruktif dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu peraturan hukum
atau sistem aturan hukum.
Berkaitan
dengan hal itu, timbul pertanyaan apakah penanaman UU No. 13 tahun 2003 dengan
ketenagakerjaan sudah tepat? Apakah penanaman department ketenagakerjaan sudah
tepat?
Penanaman
undang-undang No. 13 tahun 2003 dengan ketenagakerjaan adalah kurang tepat
karna isi yang terkandung dalam UU ketenagakerjaan hanya mencakup ketentuan
yang mengatur hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha atau pemberi kerja
dengan buruh, pekerja atau penerima kerja (terbatas yang formal saja), serta
hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. Sama sekali belum mengatur mengenai
hubungan kepegawaian, pekerja yang informal, dan pengangguran.
Penanaman
department tenaga kerja juga belum tepat karna belum mengatur tentang hubungan
kepegawaian dan pekerja yang informal meskipun mengatur juga tentang
pengangguran.
B.
PELAKSANAAN
OUTSOURCING DALAM PERSPEKTIF HUKUM KETENAGAKERJAAN
Perkembangan
ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak
timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat yang terjadi disemua lini.
Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha menyesuaikan dengan
tuntunan pasar yang memerlukan respon yang cepat dan fleksibel dalam memenuhi
tuntutan pelanggan. Untuk itu diperlukan perubahan structural dalam pengelolaan
usaha dengan memperkecil rentan kendali management. Dengan memangkas sedemikian
rupa sehingga menjadi lebih efektif, efisien dan produktif. Dalam kaitan itu
dapat dimengerti dengan adanya kemunculan outsourcing, yaitu memborongkan satu
bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri
kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.
Praktik
sehari-hari outsourcing ini diakui lebih merugikan pekerja, karna
hubungan kerja selalu berbentuk tidak tetap, upah lebih rendah, jaminan sosioal
kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak ada job security, dan tidak adanya
jaminan pengembangan karir dan lain-lain. Dengan demikian memang benar adanya
dalam keadaan seperti ini dikatakan praktik outsourcing akan menyengsarakan
pekerja atau buruh dan kaburnya hubungan industrial.
Hal
tersebut dapat terjadi karna sebelum adanya undang-undang no. 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan, tidak ada satupun undang-undang mengenai
ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam
outsourcing. Kalaupun ada, hanya peraturan Mentri Tenaga Kerja No. KEP.
100/MEN/VI/2004 tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu,
yang hanya merupakan salah satu aspek dari outsourcing.
Walaupun
diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam undang-undang no. 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing
yang begitu luas dan kompleks. Namun setidak-tidaknya dapat memberikan
perlindungan hukum terhadap pekerja terutama yang menyangkut syarat-syarat
kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya dapat
dijadikan sebagai penyelesaian apabila terjadi permasalahan.
Praktek outsurcing
dalam undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dapat
dilaksanakan dengan persyaratan sesuai dengan pasal 65
yang begitu ketat.
Semua
persyaratan itu bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu persyaratan itu
tidak dipenuhi, maka bagian pekerjaan itu tidak dapat di-outsourcing-kan.
Perusahaan penerima pekerjaan itu harus berbadan hukum. Ketentuan ini
dikarenakan banyak perusahaan yang tidak bertanggungjawab dalam memenuhi
kewajiban terhadap hak-hak para pekerjanya. Oleh karena itu berbadan hukum
menjadi sangat penting agar tidak bias menghindari dari tanggungjawab.
Perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan penerima sekurang-kurangnya sama
dengan perusahaan pemberi kerja. Hal ini berguna agar dapat mendapatkan
perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh baik diperusahaan pemberi dan
penerima karna pada hakikatnya sama-sama menuju tujuan yang sama, sehingga
tidak ada lagi syarat kerja, upah dan perlindungan kerja yang rendah.
Hubungan
kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja dan perusahaan
penerima pekerjaan yang dituangkan ke dalam perjanjian kerja secara tertulis.
Hubungan kerja tersebut pada dasarnya adalah perjanjian kerja waktu tertentu
apa bila memenuhi persyaratan baik formal maupun materill sebagaimana diatur
dalam pasal 59 undang-undang no.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dengan
demikian hubungan kerja pada outsourcing tidak selalu dalam bentuk perjanjian
waktu tertentu. Apalagi akan sangat keliru bila ada yang beranggapan bahwa
outsourcing selalu dan/atau sama dengan perjanjian kerja waktu tertentu.
Dalam
penyediaan jasa pekerja buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh
memperkerjakan pekerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan dengan proses produksi dan hanya diperbolehkan melaksanakan
kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan dengan produksi.
Kegiatan tersebut antara lain, usaha pelayanan kebersihan, usaha pelayanan
penyediaan makanan bagi para pekerja.
C.
PELAKSANAAN
SISTEM KERJA OUTSOURCING DAN DAMPAKNYA PADA PEKERJA/BURUH.
Kondisi
perburuhan Indonesia saat ini sangat rentan, penuh ketidakpastian dan kapan
saja bias terancam PHK, keputusan PHK itu dapat berlangsung apabila perusahaan
tidak menerima order lagi dari pembeli diluar negri atau perusahaan mengalami
mis-management sehingga perusahaan mengalami kebangkrutan. Keadaan ini
dipengaruhi denga pengesahan sistem kerja outsourcing. Sistem kerja ini semakin
marak dilakukan oleh para pemilik modal, data menunjukan sekitar 60-70% jumlah
pekerja adalah pekerja kontrak dan outsourcing. Berbagai alasan dikemukakan
oleh berbagai pemilik modal yang menggunakan sistem kerja tersebut, antara lain
menghemat biaya yang seharusnya digunakan sebagai tunjangan karyawan tetap
seperti tunjangan kesehatan, THR, pesangon dan cuti hamil bagi wanita. Alasan
pemerintah mengesahkan undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
adalah untuk mengurangi jumlah pengangguran yang tinggi.
Perjanjian
sudah diatur antara penyedia buruh dengan buruhnya yang mengatur tentang syarat
penyediaan buruh menurut pasal 66 ayat 2 undang-undang no. 13 tahun 2003.
Jadi buruh yang sehari-hari bekerja diperusahaan pemberi pekerjaan berkedudukan
diperusahaan penyedia tenaga kerja, sehingga segala hak-hak yang menyangkut
persoalan yang menyangkut buruh tersebut adalah tanggungjawab perusahaan
penyedia tenaga kerja. Jadi kontrak buruh dengan perusahaan penyedia tergantung
pada lama kontrak yang disetujui perusahaan pemberi kerja dan perusahaan
penyedia tenaga kerja.
D.
PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA (PHK)
Pemutusan hubungan kerja berdasarkan
ketentuan Undang-Undang
adalah pengakhiran hubungan kerja karna suatu hal tertentu mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemutusan hubungan kerja ini
berdasarkan pasal 150 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 meliputi PHK yang terjadi
dibadan usaha yang berbadan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara,
maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lainnya yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
PHK adalah suatu keadaan dimana
siburuh berhenti bekerja dari majikannya. Hakikat PHK bagi buruh merupakan awal
dari penderitaan, maksudnya bagi buruh permulaan dari segala pengakhiran,
permulaan dari berakhirnya mempunyai pekerjaan, peermulaan dari berakhirnya
kemampuannya dari membiayai keperluan hidup sehari-hari baginya dan keluarga.
Pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengusahakan agar jangan
terjadi pemutusan hubungan kerja.
PHK harus dijadikan tindakan
terakhir apabila ada perselisihan hubungan industrial. Pengusaha dalam
menghadapi para pekerja hendaknya:
a.
Menganggap para
pekerja sebagai partner yang akan membantunya dalam mensukseskan tujuan usaha
b.
Memberikan
imbalan yang layak terhadap jasa-jasa yang telah dikerahkan oleh partnernya
itu, berupa penghasilan yang layak dan jaminan-jaminan sosial tertentu, agar
dengan demikian pekerja tersebut dapat bekerja lebih produktif.
c.
Menjalin
hubungan baik dengan para pekerjanya
PHK
pada dasarnya harus ada izin, kecuali dalam hal tertentu berdasarkan ketentuan
pasal 154 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, yaitu:
a.
Pekerja dalam
masa percobaan, bila diisyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b.
Pekerja
mengajukan pengunduran diri secara tertulis ata kemauan sendiri tanpa ada
indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja
sesuai dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu untuk pertama kali.
c.
Pekerja
mencapai usia pension
d.
Pekerja
meninggal dunia.
Batasan
pemberian izin PHK digantungkan pada pada alasannya, yaitu izin tidak dapat
diberikan atau karena alasan yang dilarang. Berdasarkan ketentuan pasal 153
ayat (1) Undang-Undang No. 13 tahun 2003, apabila;
a.
Pekerja
berhalangan masuk karna sakit menurut keterangan dokter selama waktu 12 bulan
secara terus-menerus.
b.
Pekerja
berhalangan menjalankan pekerjaannya karna memenuhi kewajiban terhadap Negara.
c.
Pekerja
menjalankan ibadah yang diperintahkan agama.
d.
Pekerja
menikah.
e.
Pekerja
perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.
Pekerja
mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan bekerja lainnya didalam
satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja atau PKB;
g.
Pekerja
mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja
melakukan kegiatan serikat pekerja diluar jam kerja, atau didalam jam kerja
atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB.
h.
Pekerja
mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang
melakukan tindak pidana kejahatan.
i.
Karna perbedaan
paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan jenis kelamin,
kondisi fisik, atau status perkawinan.
j.
Pekerja dalam
keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karna hubungan
kerja yang merupakan surat keterangan dokter akibat kecelakaan kerja, atau
sakit karna hubungan kerja, atau sakit karna hubungan kerja yang menurut surat
keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhan dapat dipastikan.
E.
CARA TERJADINYA
PHK
Pada dasarnya
cara terjadinya PHK ada 4 macam yaitu PHK demi hukum, PHK oleh buruh, PHK oleh
majikan dan PHK atas dasar putusan pengadilan.
a.
PHK demi hukum
PHK
demi hukum terjadi karna alasan batas waktu masa kerja yang disepakati telah
habis atau apabila buruh meninggal dunia. Berdasarkan ketentuan pasal 61 ayat
(1) Undang-Undang No. 13 tahun 2003, perjanjian kerja berakhir apabila:
1.
Pekerja
meninggal dunia
2.
Berakhir jangka
waktu perjanjian kerja;
3.
Adanya putusan
pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
4.
Adanya keadaan
atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, dan perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya
hubungan kerja.
b.
PHK oleh buruh
PHK
oleh buruh dapat terjadi apabila buruh mengundurkan diri atau telah terdapat
alasan mendesak yang mengakibatkan buruh minta PHK. Berdasarkan ketentuan
Undang-Undang,
atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidaasi dari
pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu
tertentu untuk pertama kali. Pengunduran diri buruh dapat dianggap terjadi
apabila buruh mangkir paling sedikit dalam waktu 5 hari kerja berturut-turut
dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara tertulis, tetapi pekerjaan
tidak dapat memberikan keterangan tertulis dengan bukti yang sah.
c.
PHK oleh majikan
PHK
oleh majikan dapat terjadi karna alasan apabila buruh tidak lulus masa
percobaan, apabila majikan mengalami kerugian sehingga menutup usaha, atau
apabila buruh melakukan kesalahan. Lama masa percobaan maksimal adalah 3 bulan,
dengan syarat adanya masa percobaan dinyatakan dengan tegas oleh majikan pada
saat hubungan kerja dimulai, apabila tidak maka dianggap tidak ada masa
percobaan. Ketentuan lainnya apabila majikan menerapkan adanya training maka
masa percobaan tidak boleh dilakukan.
d.
PHK karna
Putusan Pengadilan
Cara
terjadinya PHK yang terakhir adalah karna adanya putusan pengadilan. Cara yang
keempat ini sebenarnya merupakan akibat dari adanya sengketa antara buruh dan
majikan yang berlanjut sampai ke proses peradilan. Datangnya perkara dapat dari
buruh atau dapat dari majikan.
F.
UPAYA HUKUM
BAGI PEKERJA YANG DI-PHK
Apabila
ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sebelum terbentuknya lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan
Undang-Undang No. 2 tahun 2004 lembaga yang dimaksud adalah pengadilan hubungan
Industrial maka dapat dilakukan upaya administrative atau upaya perdata.
Upaya
hukum melalui upaya administrative, penyelesaian dapat melalui: upaya bipartid
yang dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang terikat dalam
hubungan kerja. Apabila perundingan itu mencapai kesepakatan maka hasil
persetujuan itu mempunyai kekuatan hukum. Akan, tetapi apabila perundingan
tidak mencapai kesepakatan maka dapat meminta anjuran kepada Dinas Tenaga Kerja
Setempat.
Apabila
anjuran dari dinas tenaga kerja tidak diterima oleh salah satu atau kedua belah
pihak maka dapat diajukan ke P4D atau P4P. Hal ini dapat diteruskan ke Mentri
tenaga kerja guna memohon veto. Veto menaker didasari dari pertimbangan keamanan
dan stabilitas nasional. Apabila
diantara putusan P4D atau P4P sudah dapat diterima dari kedua belah pihak dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke
Pengadilan Negri, supaya putusan itu dapat dijalankan.
Disamping
itu, upaya hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan
pengusaha dalam menjatuhkan PHK karna efisiensi tidak dapat dibenarkan. Dalam
arti belum dapat dilakukan langkah awal untuk menghindari efisiensi tenaga
kerja. Secara perdata, pekerja dapat mengajukan gugat ganti rugi ke Pengadilan
Negri berdasarkan pasal 1365 BW, yaitu “tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karna salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”
Sejak
adanya undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003 (LN.
Tahun 2004, No. 6, TLN. No. 4356), upaya hukum bagi pekerja yang mengalami
perselisihan hubungan industrial akan dilakukan secara bipartid, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, atau ke pengadilan hubungan Industrial.
Memilih
mediasi atau konsiliasi dan tidak tercapai kesepakatan, dapat membawa perkara
ke pengadilan hubungan Industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrase maka
kesepakatan dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan
arbitrasedan harus terdaftar ke pengadilan negri.
Apabila
isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat dimohonkan
pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak
ditetapkan putusan arbiter. Permohonan pembatalan dilakukan apabila mengandung unsur-unsur
berdasarkan ketentuan pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 2 tahun 2004, yaitu:
a.
Surat atau
dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui
atau dinyatakan palsu.
b.
Setelah putusan
diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh
pihak lawan.
c.
Putusan diambil
dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
perselisihan.
d.
Putusan
melampaui kekuasaan arbiter hubungan Industrial;atau
e.
Putusan
bertentangan dengan peraaturan perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan pasal 126 Undang-Undang No. 2 tahun 2004, masa berlakunya adalah satu
tahun sejak diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 14 Januari
2004. Jadi, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan Industrial ini akan
menggantikan kedudukan P4D atau P4P sejak tahun 14 Januari 2005.
G.
PERLINDUNGAN
BURUH
Pengaturan
outsourcing bila dilihat dari segi hukum ketenagakerjaan adalah untuk
memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu bersamaan
memberikan perlindungan kepada pekerja. Dengan demikian adanya anggapan bahwa
hubungan kerja pada outsourcing selalu menggunakan perjanjian kerja kontrak.
Sehingga mengaburkan hubungan industrial adalah tidak benar. Pelaksanaan
hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara jelas pada pasal 65 ayat
(6) dan (7) dan pasal 66 ayat (2) dan (4) undang-undang no. 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan. Memang dalam keadaan tertentu sangat sulit untuk
mendefinisikan atau menentukan jenis pekerjaan yang dikatakan penunjang.
Untuk
menghindari timbulnya kerancuan, dapat pula dibuat dan menentukan skema proses
produksi suatu barang maupun jasa sehingga dapat ditentukan pekerjaan pokok
utama, diluar itu berarti pekerjaan penunjang.
H.
HUBUNGAN HUKUM
ANTARA KARYAWAN OUTSOURCING DENGAN PERUSAHAAN PENGGUNA OUTSOURCING
Hubungan
hukum perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna diikat dengan
menggunakan perjanjian kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja
pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan
pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja
dengan poerusahaan outsourcing sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam
perjanjian hubungan kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan
bekerja diperusahaan pengguna outsourcing.
Dari
hubungan kerja ini timbul suatu permasalahn hukum, karyawan outsourcing dalam
penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing harus tunduk pada peraturan
perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB) yang berlaku pada pengguna
perusahaan outsourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada sama sekali
hubungan kerja antara keduannya.
Hal yang
mendasari kenapa karyawan outsourcing harus tunduk pada peraturan perusahaan
pemberi kerja adalah:
1.
Karyawan
tersebut bekerja pada perusahaan pemberi kerja.
2.
Standart
Operational Prosedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus
dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan
perusahaan pemberi kerja.
3.
Bukti tunduknya
karyawan adalah pada memorandum of understanding (MoU) antara perusahaan
outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut
norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan
biasanya menginduk perusahaan outsource.
Dalam
hal terjadi pelanggaran yang dilakuka pekerja, dalam hal ini tidak ada
kewenangan oleh perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan outsource
secara hukum, tidak mempunyai hubungan hukum, sehingga yang berwenang untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa. Walaupun
peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa.
Peraturan
perusahaan berisi hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing.
Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan
perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang
disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah hubungan
perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian
penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa karyawan outsourcing dengan karyawan itu sendiri tidak mempunyai
hubungan kerja secara langsung. Baik dalam perjanjian kerja waktu tertentu
ataupun waktu tidak tertentu.
I.
PENYELESAIAN
PERSELISIHAN DALAM OUTSOURCING
Dalam
pelaksanaan outsourcing berbagai potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya
beerupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya
perselisihan karyawan outsource dengan karyawan lain. Menurut pasal 66 ayat (2)
huruf c undang-undang nomer 13 tahun 2003, penyelesaian yang timbul menjadi
tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar
karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi kerja, yang berwenang
menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.
Dalam
hal ini perusahaan outsource harus bias menempatkan diri dan bersikap bijaksana
agar bias mengkomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa
pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak
yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan. Ada baiknya perusahaan outsource
secara berkala mengirim perwakilan untuk memantau para karyawan diperusahaan
pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bias dihindari dan performa
kerja karyawan bias terpantau dengan baik.
BAB
III
KESIMPULAN
Outsourcing
dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan
dan penyediaan jasa tenaga kerja pengaturan hukum outsourcing di Indonesia
diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 pasal (64,65,66).
Ketentuan pasal yang terkait langsung pada outsourcing. Telah dijabarkan
langsung isi dari undang-undang tersebut
Bentuk
perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT). Mengenai penyelesaian perselisihan menurut pasal 66 ayat
(2) huruf c undang-undang no. 13 tahun 2003. Penyelesaian perselisihan yang
timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
Regulasi
mengenai pemutusan hubungan kerja dimasa pasca reformasi sudah baik. Sayangnya
masih terdapat dengan pengaturan tentang kontrak kerja, outsourcing dengan
pekerja tetap.
Kenyataan
di masyarakat, terjadi suatu keadaan pengusaha lebih suka menerapkan perjanjian
kerja untuk waktu tertentu melalui mekanisme kontrak kerja atau outsourcing.
Pengawasan pemerintah terhadap kenyataan ini hamper tidak dilaksanakan. Secara
bertahap terjadi perubahan status dari pekerja tetap menjadi pekerja tidak
tetap. Kenyataan itu dilakukan oleh pengusaha semata-mata untuk menghindarkan
diri dari adanya kewajiban tertentu jika melakukan pemutusan hubungan kerja
bagi pekerja tetap.
Keadaan
ini harus segera dihentikan. Reformasi pengaturan PHK harus disertai pula
dengan reformasi regulasi tentang kontrak kerja dan outsourcing. Semua
ketentuan yang ada harus selaras tidak ada yang saling bertentangan.
Seharusnya
juga pemerintah menjadi lebih tegas terhadap kesalahan perusahaan yang
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan no. 13 tahun 2003.
Sebenarnya pengesahan outsourcing saja merupakan mimpi buruk bagi kaum buruh
Indonesia. Kesengsaraan jadi semakin berat ketika pemerintah tidak berpihak
kepada buruh pada saat perusahaan melakukan pelanggaran hukum atas hak-hak
buruh. Pemerintah lebih mementingkan keberadaan investor asing, takut bila
investor asing tersebut lari dari Indonesia. Jadi dapat disimpulkan bahwa
sistem kerja outsourcing lebih memihak kaum pemilik modal dari pada kaum buruh.
REFERENSI
1.
Undang-Undang
no 13. Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
2.
Wijayanti, Asri
SH., MH, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2013
3.
Sendjun H.
Manulang SH., Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: Rineka
Cipta, 1990.
4.
Yasar, Iftida,
Apakah Benar Outsorcing Bisa Dihapus?, Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2013.
5.
Sutedi, Adrian,
Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika.
6. http://putripkn.blogspot.com/2013/04/makalah-outsourcing.html