Minggu, 18 Mei 2014

SISTEM OUTSOURCING DALAM KETENAGAKERJAAN



SISTEM OUT SOURCING DALAM KETENAGAKERJAAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
BAB I

PENDAHULUAN

Sebagian besar perusahaan memilih menerapkan kebijakan outsourcing[1] dalam pemilihan tenaga kerja, karna dinilai lebih mempermudah menjalankan program pokok perusahaan, selain itu juga dapat meningkatkan daya saing perusahaan itu sendiri dengan perusahaan yang lainnya.
Ini jelas berdampak kepada para karyawan outsourcing sendiri yang dirugikan. Baik dari ketidakpastian kontrak yang diterima, terkadang para karyawan mendapat potongan gaji yang tidak jelas yang sama sekali tidak mereka ketahui. Belum lagi jika mereka mendapat PHK akan sulit bagi mereka mendapat pekerjaan yang baru.
Dari ini bisa kita liat bahwa nasib para pekerja di perusahaan yang menerapkan sistem outsourcing menjadi tumpang-tindih. Maka pemerintah dalam kebijakannya berusaha melindungi para pekerja dengan membuat undang-undang no 13 tahun 2003, yang di dalamnya membahas secara rinci tentang ketenagakerjaan, bagaimana cara perlindungan pekerja, bagaimana waktu yang ditentukan pemerintah yang harus dipatuhi perusahaan dalam menentukan jam kerja, bagaimana cara pengupahan dan banyak lagi yang telah dimuat di dalamnya untuk melindungi para pekerja.
Maka dengan dibuatnya makalah ini, InsyaAllah akan dibahas didalalamnya bagaimana sistem outsourcing ditinjau dari undang-undang no 13 tahun 2003.









BAB II

ANALISA HUKUM

A.    PENGERTIAN TENAGA KERJA,  OUTSOURCING (ALIH DAYA) DAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

Menurut undang-undang no. 14 tahun 1969[2], tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (pasal 1).
Jadi pengertian tenaga kerja menurut ketentuan ini meliputi tenaga kerja yang bekerja di dalam maupun di luar hubungan kerja, dengan alat produksi utamanya dalam proses produksi adalah tenaganya sendiri, baik tenaga fisik maupun fikiran.
Cirri khas dari hubungan kerja tersebut diatas adalah bekerja di bawah perintah orang lain dengan menerima upah.
Sedangkan outsourcing sendiri terdiri dari duasuku kata, out dan sourcing, sourcing artinya mengalihkan kerja, daya, tanggungjawab kepada orang lain. Dalam dunia bisnis out sourcing sendiri dapat diartikan sebagai penyerahan sebagaian pelaksanaan yang sifatnya non-core, atau penunjang dari satu perusahaan ke perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerja atau penyediaan jasa kerja/buruh.
Outsourcing atau alih daya adalah pemindahan suatu pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang dilakukan biasanya untuk memperkecil biaya produksi atau untuk mempusatkan perhatian pada hal yang paling utama di perusahaan itu.
Hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga kerja. Hukum ketenagakerjaan semula dikenal dengan istilah perburuhan. Setelah kemerdekaan ketenagakerjaan di Indonesia diatur dengan ketentuan undang-undang No. 14 tahun 1969 tentang pokok-pokok ketentuan tenaga kerja. Pada tahun 1997 undang-undang ini diganti dengan undang-undang No. 25 tahun 1997 ternyata menimbulkan banyak protes dari masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan masalah menara jamsostek yang dibangun berdasarkan dugaan kolusi penyimpanan dana jamsostek. Keberadaan undang-undang No. 25 tahun 1997 mengalami penangguhan dan terakhir diganti oleh undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan[3].
Apabila ditelaah dari pengertian istilah, hukum ketenagakerjaan terdiri atas dua kata, yaitu hukum dan ketenagakerjaan. Hukum dan ketenagakerjaan merupakan dua konsep hukum. Konsep hukum sangat dibutuhkan apabila kita mempelajari hukum. Konsep hukum pada dasarnya adalah batasan tentang suatu istilah tertentu. Tiap istilah ditentukan arti dan batasan maknanya setajam dan sejelas mungkin yang dirumuskan dalam suatu definisi. Istilah dan arti tersebut diupayakan agar digunakan secara konsisten. Konsep yuridis (legal konsep) yaitu konsep kostruktif dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu peraturan hukum atau sistem aturan hukum.
Berkaitan dengan hal itu, timbul pertanyaan apakah penanaman UU No. 13 tahun 2003 dengan ketenagakerjaan sudah tepat? Apakah penanaman department ketenagakerjaan sudah tepat?
Penanaman undang-undang No. 13 tahun 2003 dengan ketenagakerjaan adalah kurang tepat karna isi yang terkandung dalam UU ketenagakerjaan hanya mencakup ketentuan yang mengatur hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha atau pemberi kerja dengan buruh, pekerja atau penerima kerja (terbatas yang formal saja), serta hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. Sama sekali belum mengatur mengenai hubungan kepegawaian, pekerja yang informal, dan pengangguran.
Penanaman department tenaga kerja juga belum tepat karna belum mengatur tentang hubungan kepegawaian dan pekerja yang informal meskipun mengatur juga tentang pengangguran.

B.     PELAKSANAAN OUTSOURCING DALAM PERSPEKTIF HUKUM KETENAGAKERJAAN

Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat yang terjadi disemua lini. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha menyesuaikan dengan tuntunan pasar yang memerlukan respon yang cepat dan fleksibel dalam memenuhi tuntutan pelanggan. Untuk itu diperlukan perubahan structural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentan kendali management. Dengan memangkas sedemikian rupa sehingga menjadi lebih efektif, efisien dan produktif. Dalam kaitan itu dapat dimengerti dengan adanya kemunculan outsourcing, yaitu memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut perusahaan penerima pekerjaan.
Praktik sehari-hari outsourcing ini diakui lebih merugikan pekerja, karna hubungan kerja selalu berbentuk tidak tetap, upah lebih rendah, jaminan sosioal kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak ada job security, dan tidak adanya jaminan pengembangan karir dan lain-lain. Dengan demikian memang benar adanya dalam keadaan seperti ini dikatakan praktik outsourcing akan menyengsarakan pekerja atau buruh dan kaburnya hubungan industrial.
Hal tersebut dapat terjadi karna sebelum adanya undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, tidak ada satupun undang-undang mengenai ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam outsourcing. Kalaupun ada, hanya peraturan Mentri Tenaga Kerja No. KEP. 100/MEN/VI/2004 tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu, yang hanya merupakan salah satu aspek dari outsourcing.
Walaupun diakui bahwa pengaturan outsourcing dalam undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan belum dapat menjawab semua permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks. Namun setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya dapat dijadikan sebagai penyelesaian apabila terjadi permasalahan.
Praktek outsurcing dalam undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dapat dilaksanakan dengan persyaratan sesuai dengan pasal 65[4] yang begitu ketat.
Semua persyaratan itu bersifat kumulatif sehingga apabila salah satu persyaratan itu tidak dipenuhi, maka bagian pekerjaan itu tidak dapat di-outsourcing-kan. Perusahaan penerima pekerjaan itu harus berbadan hukum. Ketentuan ini dikarenakan banyak perusahaan yang tidak bertanggungjawab dalam memenuhi kewajiban terhadap hak-hak para pekerjanya. Oleh karena itu berbadan hukum menjadi sangat penting agar tidak bias menghindari dari tanggungjawab.
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan penerima sekurang-kurangnya sama dengan perusahaan pemberi kerja. Hal ini berguna agar dapat mendapatkan perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh baik diperusahaan pemberi dan penerima karna pada hakikatnya sama-sama menuju tujuan yang sama, sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah dan perlindungan kerja yang rendah.
Hubungan kerja yang terjadi pada outsourcing adalah antara pekerja dan perusahaan penerima pekerjaan yang dituangkan ke dalam perjanjian kerja secara tertulis. Hubungan kerja tersebut pada dasarnya adalah perjanjian kerja waktu tertentu apa bila memenuhi persyaratan baik formal maupun materill sebagaimana diatur dalam pasal 59 undang-undang no.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dengan demikian hubungan kerja pada outsourcing tidak selalu dalam bentuk perjanjian waktu tertentu. Apalagi akan sangat keliru bila ada yang beranggapan bahwa outsourcing selalu dan/atau sama dengan perjanjian kerja waktu tertentu.
Dalam penyediaan jasa pekerja buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh memperkerjakan pekerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya diperbolehkan melaksanakan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan dengan produksi. Kegiatan tersebut antara lain, usaha pelayanan kebersihan, usaha pelayanan penyediaan makanan bagi para pekerja.


C.     PELAKSANAAN SISTEM KERJA OUTSOURCING DAN DAMPAKNYA PADA PEKERJA/BURUH.

Kondisi perburuhan Indonesia saat ini sangat rentan, penuh ketidakpastian dan kapan saja bias terancam PHK, keputusan PHK itu dapat berlangsung apabila perusahaan tidak menerima order lagi dari pembeli diluar negri atau perusahaan mengalami mis-management sehingga perusahaan mengalami kebangkrutan. Keadaan ini dipengaruhi denga pengesahan sistem kerja outsourcing. Sistem kerja ini semakin marak dilakukan oleh para pemilik modal, data menunjukan sekitar 60-70% jumlah pekerja adalah pekerja kontrak dan outsourcing. Berbagai alasan dikemukakan oleh berbagai pemilik modal yang menggunakan sistem kerja tersebut, antara lain menghemat biaya yang seharusnya digunakan sebagai tunjangan karyawan tetap seperti tunjangan kesehatan, THR, pesangon dan cuti hamil bagi wanita. Alasan pemerintah mengesahkan undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah untuk mengurangi jumlah pengangguran yang tinggi.
Perjanjian sudah diatur antara penyedia buruh dengan buruhnya yang mengatur tentang syarat penyediaan buruh menurut pasal 66 ayat 2 undang-undang no. 13 tahun 2003[5]. Jadi buruh yang sehari-hari bekerja diperusahaan pemberi pekerjaan berkedudukan diperusahaan penyedia tenaga kerja, sehingga segala hak-hak yang menyangkut persoalan yang menyangkut buruh tersebut adalah tanggungjawab perusahaan penyedia tenaga kerja. Jadi kontrak buruh dengan perusahaan penyedia tergantung pada lama kontrak yang disetujui perusahaan pemberi kerja dan perusahaan penyedia tenaga kerja.

D.    PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
            Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Undang-Undang[6] adalah pengakhiran hubungan kerja karna suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
            Pemutusan hubungan kerja ini berdasarkan pasal 150 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 meliputi PHK yang terjadi dibadan usaha yang berbadan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lainnya yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
            PHK adalah suatu keadaan dimana siburuh berhenti bekerja dari majikannya. Hakikat PHK bagi buruh merupakan awal dari penderitaan, maksudnya bagi buruh permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dari berakhirnya mempunyai pekerjaan, peermulaan dari berakhirnya kemampuannya dari membiayai keperluan hidup sehari-hari baginya dan keluarga. Pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja[7].
            PHK harus dijadikan tindakan terakhir apabila ada perselisihan hubungan industrial. Pengusaha dalam menghadapi para pekerja hendaknya:
a.       Menganggap para pekerja sebagai partner yang akan membantunya dalam mensukseskan tujuan usaha
b.      Memberikan imbalan yang layak terhadap jasa-jasa yang telah dikerahkan oleh partnernya itu, berupa penghasilan yang layak dan jaminan-jaminan sosial tertentu, agar dengan demikian pekerja tersebut dapat bekerja lebih produktif.
c.       Menjalin hubungan baik dengan para pekerjanya[8]

PHK pada dasarnya harus ada izin, kecuali dalam hal tertentu berdasarkan ketentuan pasal 154 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, yaitu:
a.       Pekerja dalam masa percobaan, bila diisyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b.      Pekerja mengajukan pengunduran diri secara tertulis ata kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja dalam waktu tertentu untuk pertama kali.
c.       Pekerja mencapai usia pension
d.      Pekerja meninggal dunia.
Batasan pemberian izin PHK digantungkan pada pada alasannya, yaitu izin tidak dapat diberikan atau karena alasan yang dilarang. Berdasarkan ketentuan pasal 153 ayat (1) Undang-Undang No. 13 tahun 2003, apabila;
a.       Pekerja berhalangan masuk karna sakit menurut keterangan dokter selama waktu 12 bulan secara terus-menerus.
b.      Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karna memenuhi kewajiban terhadap Negara.
c.       Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agama.
d.      Pekerja menikah.
e.       Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.       Pekerja mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan bekerja lainnya didalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja atau PKB;
g.      Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja diluar jam kerja, atau didalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB.
h.      Pekerja mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.
i.        Karna perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
j.        Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karna hubungan kerja yang merupakan surat keterangan dokter akibat kecelakaan kerja, atau sakit karna hubungan kerja, atau sakit karna hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhan dapat dipastikan.

E.     CARA TERJADINYA PHK
            Pada dasarnya cara terjadinya PHK ada 4 macam yaitu PHK demi hukum, PHK oleh buruh, PHK oleh majikan dan PHK atas dasar putusan pengadilan.
a.       PHK demi hukum

PHK demi hukum terjadi karna alasan batas waktu masa kerja yang disepakati telah habis atau apabila buruh meninggal dunia. Berdasarkan ketentuan pasal 61 ayat (1) Undang-Undang No. 13 tahun 2003, perjanjian kerja berakhir apabila:
1.      Pekerja meninggal dunia
2.      Berakhir jangka waktu perjanjian kerja;
3.      Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
4.      Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

b.       PHK oleh buruh

PHK oleh buruh dapat terjadi apabila buruh mengundurkan diri atau telah terdapat alasan mendesak yang mengakibatkan buruh minta PHK. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang[9], atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidaasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali. Pengunduran diri buruh dapat dianggap terjadi apabila buruh mangkir paling sedikit dalam waktu 5 hari kerja berturut-turut dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara tertulis, tetapi pekerjaan tidak dapat memberikan keterangan tertulis dengan bukti yang sah.



c.       PHK oleh majikan

PHK oleh majikan dapat terjadi karna alasan apabila buruh tidak lulus masa percobaan, apabila majikan mengalami kerugian sehingga menutup usaha, atau apabila buruh melakukan kesalahan. Lama masa percobaan maksimal adalah 3 bulan, dengan syarat adanya masa percobaan dinyatakan dengan tegas oleh majikan pada saat hubungan kerja dimulai, apabila tidak maka dianggap tidak ada masa percobaan. Ketentuan lainnya apabila majikan menerapkan adanya training maka masa percobaan tidak boleh dilakukan.

d.      PHK karna Putusan Pengadilan

Cara terjadinya PHK yang terakhir adalah karna adanya putusan pengadilan. Cara yang keempat ini sebenarnya merupakan akibat dari adanya sengketa antara buruh dan majikan yang berlanjut sampai ke proses peradilan. Datangnya perkara dapat dari buruh atau dapat dari majikan.

F.      UPAYA HUKUM BAGI PEKERJA YANG DI-PHK

            Apabila ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sebelum terbentuknya lembaga penyelesaian perselisihan hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 2004 lembaga yang dimaksud adalah pengadilan hubungan Industrial maka dapat dilakukan upaya administrative atau upaya perdata.

            Upaya hukum melalui upaya administrative, penyelesaian dapat melalui: upaya bipartid yang dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang terikat dalam hubungan kerja. Apabila perundingan itu mencapai kesepakatan maka hasil persetujuan itu mempunyai kekuatan hukum. Akan, tetapi apabila perundingan tidak mencapai kesepakatan maka dapat meminta anjuran kepada Dinas Tenaga Kerja Setempat.

            Apabila anjuran dari dinas tenaga kerja tidak diterima oleh salah satu atau kedua belah pihak maka dapat diajukan ke P4D atau P4P. Hal ini dapat diteruskan ke Mentri tenaga kerja guna memohon veto. Veto menaker didasari dari pertimbangan keamanan dan stabilitas  nasional. Apabila diantara putusan P4D atau P4P sudah dapat diterima dari kedua belah pihak dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke Pengadilan Negri, supaya putusan itu dapat dijalankan.

            Disamping itu, upaya hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan pengusaha dalam menjatuhkan PHK karna efisiensi tidak dapat dibenarkan. Dalam arti belum dapat dilakukan langkah awal untuk menghindari efisiensi tenaga kerja. Secara perdata, pekerja dapat mengajukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negri berdasarkan pasal 1365 BW, yaitu “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karna salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”
            Sejak adanya undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003 (LN. Tahun 2004, No. 6, TLN. No. 4356), upaya hukum bagi pekerja yang mengalami perselisihan hubungan industrial akan dilakukan secara bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau ke pengadilan hubungan Industrial.

            Memilih mediasi atau konsiliasi dan tidak tercapai kesepakatan, dapat membawa perkara ke pengadilan hubungan Industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrase maka kesepakatan dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan arbitrasedan harus terdaftar ke pengadilan negri.

            Apabila isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat dimohonkan pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditetapkan putusan arbiter. Permohonan pembatalan dilakukan apabila mengandung unsur-unsur berdasarkan ketentuan pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 2 tahun 2004, yaitu:

a.       Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu.
b.      Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.
c.       Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan.
d.      Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan Industrial;atau
e.       Putusan bertentangan dengan peraaturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan pasal 126 Undang-Undang No. 2 tahun 2004, masa berlakunya adalah satu tahun sejak diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004. Jadi, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan Industrial ini akan menggantikan kedudukan P4D atau P4P sejak tahun 14 Januari 2005.

G.    PERLINDUNGAN BURUH

Pengaturan outsourcing bila dilihat dari segi hukum ketenagakerjaan adalah untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan outsourcing dan dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan kepada pekerja. Dengan demikian adanya anggapan bahwa hubungan kerja pada outsourcing selalu menggunakan perjanjian kerja kontrak. Sehingga mengaburkan hubungan industrial adalah tidak benar. Pelaksanaan hubungan kerja pada outsourcing telah diatur secara jelas pada pasal 65 ayat (6) dan (7) dan pasal 66 ayat (2) dan (4) undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Memang dalam keadaan tertentu sangat sulit untuk mendefinisikan atau menentukan jenis pekerjaan yang dikatakan penunjang.
Untuk menghindari timbulnya kerancuan, dapat pula dibuat dan menentukan skema proses produksi suatu barang maupun jasa sehingga dapat ditentukan pekerjaan pokok utama, diluar itu berarti pekerjaan penunjang.

H.    HUBUNGAN HUKUM ANTARA KARYAWAN OUTSOURCING DENGAN PERUSAHAAN PENGGUNA OUTSOURCING

Hubungan hukum perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna diikat dengan menggunakan perjanjian kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan poerusahaan outsourcing sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian hubungan kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja diperusahaan pengguna outsourcing.
Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahn hukum, karyawan outsourcing dalam penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing harus tunduk pada peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB) yang berlaku pada pengguna perusahaan outsourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada sama sekali hubungan kerja antara keduannya.
Hal yang mendasari kenapa karyawan outsourcing harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi kerja adalah:
1.      Karyawan tersebut bekerja pada perusahaan pemberi kerja.
2.      Standart Operational Prosedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja.
3.      Bukti tunduknya karyawan adalah pada memorandum of understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource.
Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakuka pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan oleh perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan outsource secara hukum, tidak mempunyai hubungan hukum, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa. Walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa.
Peraturan perusahaan berisi hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah hubungan perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa karyawan outsourcing  dengan karyawan itu sendiri tidak mempunyai hubungan kerja secara langsung. Baik dalam perjanjian kerja waktu tertentu ataupun waktu tidak tertentu.

I.       PENYELESAIAN PERSELISIHAN DALAM OUTSOURCING

Dalam pelaksanaan outsourcing berbagai potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya beerupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan karyawan outsource dengan karyawan lain. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c undang-undang nomer 13 tahun 2003, penyelesaian yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi kerja, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.
Dalam hal ini perusahaan outsource harus bias menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bias mengkomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan. Ada baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim perwakilan untuk memantau para karyawan diperusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bias dihindari dan performa kerja karyawan bias terpantau dengan baik.
BAB III
KESIMPULAN
Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja pengaturan hukum outsourcing di Indonesia diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 pasal (64,65,66). Ketentuan pasal yang terkait langsung pada outsourcing. Telah dijabarkan langsung isi dari undang-undang tersebut[10]
Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Mengenai penyelesaian perselisihan menurut pasal 66 ayat (2) huruf c undang-undang no. 13 tahun 2003. Penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
Regulasi mengenai pemutusan hubungan kerja dimasa pasca reformasi sudah baik. Sayangnya masih terdapat dengan pengaturan tentang kontrak kerja, outsourcing dengan pekerja tetap.
Kenyataan di masyarakat, terjadi suatu keadaan pengusaha lebih suka menerapkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu melalui mekanisme kontrak kerja atau outsourcing. Pengawasan pemerintah terhadap kenyataan ini hamper tidak dilaksanakan. Secara bertahap terjadi perubahan status dari pekerja tetap menjadi pekerja tidak tetap. Kenyataan itu dilakukan oleh pengusaha semata-mata untuk menghindarkan diri dari adanya kewajiban tertentu jika melakukan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja tetap.
Keadaan ini harus segera dihentikan. Reformasi pengaturan PHK harus disertai pula dengan reformasi regulasi tentang kontrak kerja dan outsourcing. Semua ketentuan yang ada harus selaras tidak ada yang saling bertentangan.
Seharusnya juga pemerintah menjadi lebih tegas terhadap kesalahan perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan no. 13 tahun 2003. Sebenarnya pengesahan outsourcing saja merupakan mimpi buruk bagi kaum buruh Indonesia. Kesengsaraan jadi semakin berat ketika pemerintah tidak berpihak kepada buruh pada saat perusahaan melakukan pelanggaran hukum atas hak-hak buruh. Pemerintah lebih mementingkan keberadaan investor asing, takut bila investor asing tersebut lari dari Indonesia. Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem kerja outsourcing lebih memihak kaum pemilik modal dari pada kaum buruh.


























REFERENSI
1.      Undang-Undang no 13. Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
2.      Wijayanti, Asri SH., MH, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2013
3.      Sendjun H. Manulang SH., Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
4.      Yasar, Iftida, Apakah Benar Outsorcing Bisa Dihapus?, Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2013.
5.      Sutedi, Adrian, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika.
6.      http://putripkn.blogspot.com/2013/04/makalah-outsourcing.html


[1] Disebut juga Alih Daya, dan diatur dalam pasal 64,65,66 undang-undang no 13 tahun 2003.

[2] Pokok-pokok hukum ketenagakerjaan Indonesia hal. 3
[3] Lembar Negara tahun 2003 nomer 39, tambahan lembaran Negara tahun 2003 nomer 4279 yang selanjutnya disingkat dengan UU No. 13 tahun 2003.
[4] Persyaratan outsourcing:
1.       Perjanjian pemborongan pekerja dilakukan secara tertulis
2.       Bagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pekerjaan, diharuskan memenuhi syarat-syarat:
a.        Apabila bagian pekerjaan tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
b.       Bagian pekerjaan itu merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan sehingga jika dikerjakan pihak lain tidak akan menghambat proses produksi secara langsung.
c.        Dilakukan dari perintah langsung dan tidak langsung oleh pemberi pekerjaan.
[5] Penyediaan jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung      dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.        Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh  dan perusahaan penyedia jasa pekerja.
b.       Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja pada waktu tertentu yang memenusi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak.
c.        Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggungjawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
d.       Perjanjian anatara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib membuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
[6] Pasal 1 angka (25) Undang-Undang No. 13 tahun 2003
[7] Pasal 151 ayat (1) undang-undang No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 151 ayat (2) dan (3) undang-undang No. 13 tahun 2003 yaitu:
(2) dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh.
(3) dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan.
[8] Y.W Sunindia dan Ninik Widiyanti, masalah PHK dan pemogokan, Bina Aksara, Jakarta, 1998, hal 129.
[9] Pasal 151 ayat (3) huruf b Undang-Undang No. 13 tahun 2003
[10] Pasal 50-55, perjanjian kerja, pasal 56-59, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pasal 60-63 perjanjian kerja waktu tidak terbatas (PKWTT), pasal 64-66, outsourcing.

2 komentar: