Senin, 31 Maret 2014

DASAR HUKUM YANG MEROBAH KETENTUAN PASAL 11 KUHP TENTANG PELAKSANAAN PIDANA MATI



Dasar Hukum Yang Merobah Ketentuan Pasal 11 KUHP Tentang Pelaksanaan Pidana Mati

Pasal 11 KUHP:
“Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat ditiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”
Dasar hukum yang merobah pasal 11 KUHP adalah undang-undang No: 2/PNPS/1964 yaitu penpres nomer 2 tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang. Dengan undang-undang No. 5 tahun 1969:
Pasal 10 ayat 1:
“Kepala polisi daerah membentuk suatu regu penembak dari Brigade Mobile yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang tamtama, dibawah pimpinan seorang perwira”

Resume
Seperti yang telah sama-sama kita pelajari negara kita menganut asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis yang mengandung arti aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum umum, jika tidak ditemukan rumusannya di dalam aturan khusus maka akan kembali ke aturan yang umum. Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 yaitu Lex Specialis yang akan mengesampingkan aturan umum yaitu pasal 11 KUHP. Maka negara kita menggunakan metode dengan cara eksekusi tembak mati oleh para eksekutor, bukan menggunakan hukum gantung yang diatur dalam pasal 11 KUHP.
Sebagian pakar memaparkan bahwasanya hukuman mati adalah bentuk hukuman yang kejam, dan tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Tak hanya itu, hukuman mati merupakan pelanggaran serius Hak Asasi Manusia karna adanya penyiksaan mental (psikologis) akibat lamanya rentan waktu antara vonis dan eksekusi. Apalagi, dalam proses menunggu eksekusi sering kali hak terpidana mati tidak diberikan secara penuh oleh otoritas hukum Indonesia. Opini ini masih mengandung pro dan kontra publik.
Tujuan diciptakannya hukuman mati adalah selain adanya jaminan dan kepastian perlindungan serta ketertiban dalam berbangsa dan bernegara adalah agar pemerintah dan negara terlihat berwibawa dihadapan rakyatnya (termasuk penggerak roda pemerintahan) dan juga memiliki eksistensi dimata dunia. Selain itu juga bertuan menimbulkan efek jera dan menjadi pelajaran bagi warganya.
Hukuman mati memang lebih hebat efek jeranya ketimbang hukuman seumur hidup, hal ini sesuai dengan kajian yang berhasil dianalisis oleh PBB menyebutkan bahwa survey dilakukan pada tahun 1998-2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan memperlihatkan ancaman hukuman mati lebih memberi efek jera yang lebih ekstrim ketimbang seumur hidup dalam perkara pembunuhan.
Hukuman mati gantung
Metode hukuman mati ini menurut catatan sejarah telah dipergunakan oleh sebuah negara (kerajaan) pertama sekali oleh kerajaan Persia, lebih kurang 2500 tahun yang lalu. Kini, negara-negara yang menerapkan metode hukuman gantung terhadap korban yang terbukti memenuhi syarat dilaksanakan hukuman gantung adalah: Malaysia, Irak, Mesir, Iran, Jepang, Pakistan dan Singapura.
Hukuman mati tembak
Jenis hukuman mati seperti ini masih banyak dilaksanakan oleh 68 Negara yang masih menggunakan hukuman mati untuk jenis kejahatan berat atau besar. Metode hukuman mati ini sudah sering kita dengar dan saksikan melalui pemberitaan. Negara yang melaksanakan metode jenis ini adalah Indonesia, Somalia, China, Taiwan, Rusia.
Berdasarkan pengenalan jenis dan metode serta negara yang masih menerapkan hukuman mati apapun bentuknya. Banyak muncul opini pro dan kontra masing-masing pihak memberikan dalil dengan dasar dan alasan masing-masing yang tentu semuanya benar. Namun demikian akhirnya kembali kepada peraturan dan aturan serta pelaksanaan hukum sesuai dengan tujuan masing-masing negara.
Diantara berbagai jenis metode eksekusi hukuman mati, mana yang lebih manusiawi dan bias lebih diterima? Jawabannya juga tidak ada karna selalu ada pro dan kontra. Sulit menemukan jawaban yang mewakili seluruh aspirasi. Dan usulan dari saya harusnya segera dirancang dan disahkan hukuman mati bagi tindak pidana korupsi di Indonesia, agar bias menimbulkan efek jera bagi para koruptor.

PENCUCIAN UANG





BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang


Pencucian uang adalah proses pengubahan dana ilegal menjadi dana dan aset yang sah.  Dana berasal dari perdagangan narkoba, penggelapan pajak, penyelundupan, pencurian, terorisme, perdagangan senjata, praktek korupsi dan aktivitas ilegal lainnya. Peran dan kekuatan pelaku kejahatan secara substansial meningkat dengan melakukan pencucian uang.

Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggeris dikenal dengan nama “money laundering” sekarang mulai dibahas dalam buku-buku teks, apakah itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata problematik uang haram ini sudah meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu fenomena kejahatan yang menyangkut terutama dunia kejahatan yang dinamakan “organized crime”, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalulintas pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat bertalian dengan hal terakhir ini adalah dunia perbankan yang pada satu pihak beroperasional atas dasar kepercayaan para konsumen, namun pada pihak lain, apakah akan membiarkan kejahatan pencucian uang ini terus merajalela.

Money laundering adalah suatu praktek pencucian uang panas atau kotor (dirty money). Uang kotor ini, berasal dari praktek-praktek haram dan illegal seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan, serta tindak pidana perbankan dan praktek-praktek tidak sehat lainnya. Untuk membersihkannya uang tersebut ditempatkan pada suatu bank atau tempat tertentu untuk sementara waktu sebelum akhirnya dipindahkan ke tempat lain (layering), misalnya melalui pembelian saham di pasar modal, transfer valuta asing atau pembelian suatu asset. Setelah itu, si pelaku akan menerima uang yang sudah bersih dari ladang pencucian berupa pendapatan yang diperoleh dari pembelian saham, valuta asing atau asset tersebut (integration). Proses inilah yang dinamakan money laundering, karena mengubah uang kotor menjadi bersih tak berbekas melalui proses keuangan yang sah.

Pelaku dari money laundering sebagai kejahatan terorganisir, dilakukan oleh orang yang menguasai atau mempunyai pengetahuan khusus di dunia penyedia jasa keuangan. Bahkan mereka harus menguasai ilmu pengetahuan di bidang komputer.

Salah satu contoh kasus money laundering ialah kasus Bank Global. Pembobolan bank tersebut bukan dilakukan melalui suatu teknik yang canggih, melainkan karena adanya niat buruk dari pengelola bank yang memanfaatkan kelengahan pengawasan BI maupun Bapepam. Maka dari itu pemerintah menutup Bank Global. Pada waktu dibekukan kegiatan usahanya, Bank Global sudah nyaris kolaps. Angka Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modalnya sudah berada pada titik minus 39 persen. Dengan adanya indikasi berbagai pelanggaran ditambah dengan ketertutupan dari pihak manajemen, maka BI kemudian bertindak lebih tegas, yakni membekukan kegiatan usaha dengan tujuan demi menyelamatkan asset, mencegah kerugian lebih besar lagi, serta yang utama ialah mengamankan dana nasabah.

 Perumusan Masalah

1. Apa Pengertian Money Loundering?
2. Bagaimana Perkembangan Tata Cara Money Loundering?

 Tujuan Pembahasan

1. Agar Mengetahui Pengertian Money Loundering
2. Agar Mengetahui Perkembangan Tata Cara Money Loundering

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Money Loundry

Pencucian uang (Inggris:Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B.     Hukum Pencucian Uang di Indonesia

Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:

Pertama

Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).

Kedua

Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).

Ketiga

Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.

Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)

(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.



C.     Model Money Loundry

Kegiatan pencucian uang melibatkan aktivitas yang sangat kompleks. Pada dasarnya, kegiatan tersebut terdiri dari tiga langkah yang masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan bersama-sama yaitu placement, layering, dan integration.

a.              Placement

Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan ke dalam sistem keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dan uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan, misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing.

b.              Layering

Layering diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan tranaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana ”haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin perusahaan-per usahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.

c.              Integration

Integration adalah upaya menggunakan harta kekeyaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Dalam melakjukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin komppleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering, maupun integration., sehingga penanganannya pun semakin sulit dan membutuhkan peningkatan peningkatan (capacity building) secara sitematis dan berkesinambungan.Jadi dalam integration, begitu uang tersebut telah berhasil diupayakan proses pencuciannya melalui cara layering, maka tahap selanjutnya adalah menggunakan uang yang telah menjadi “uang halal” (clean money) untuk kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatan dari penjahat atau organisasi kejahatan yang mengendalikan uang tersebut.Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini dana yang begitu besar dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan terutama yang menyangkut narkotika.. Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditanganin jika ingin menggagalkan praktik kotor pencucian uang haram ini, yaitu kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efesiensi transaksi.
Adapun perihal proses pencucian uang, menurut Anwar Nasution, ada empat factor yang dilakukan dalam proses pencucian uang. Pertama, merahasiakan siapa pemilik yang sebenarnya maupun sumber uang hasil kejahatan itu. Kedua, mengubah bentuknya sehingga mudah untuk dibawa kemana-mana. Ketiga, Merahasiakan proses pencucian uang itu sehingga menyulitkan pelacakan oleh bpetugas hukum. Keempat, mudah diawasi oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya.

D. Pencegahan dan Penanggulangan pencucian uang

Pemberantasan kegiatan money laundering (pencucian uang) dapat dilakukan melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius. Di bawah ini hádala beberaa langkah yang telah diambil Pemerintah RI untuk menindaklanjuti
komitmen pemberantasan kegiatan pencucian uang.

a.       Undang-undang Yang Berkaitan dengan Psikotropika

Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan psikotropika, antara lain UU No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971,UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Di samping itu, terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika. Dalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.

b.      Undang-undang Yang Berkaitan dengan Narkotika

Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika, antara lain UU N. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, UU No. 22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang menggantikanUU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah dan memberantas bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1997 disebutkan, bahwa narkotika dan peralatan yang dipergunakan dalam pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.

c.       UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: “Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan”.
Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan tranaksi tertentu antara lain hádala transaksi dalam jumlah besar yang diduga berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini tentunya termasuk pula kegiatan pencucian uang.

d.      UU No. 24 Tahun 1999 tentang LALU Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar

Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pergerakan dana dalam transaksi internacional. UU No. 24/1999, secara tidak langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal 3 ayat (2), misalnya, mengatur sebagai berikut:
“Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Keterangan dan data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi, tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi.

e.       Ketentuan Bank Indonesia

Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung dapat mencegah atau memberantas kegiatan money laundering secara administratif,
antara lain:

1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang
Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan SK Dir. BI ini setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) wajib mengisi formulir deklarasi. Selain itu,
bagi setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 100.000.000,- (seratus  juta rupiah) selain wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank Indonesia.

2. Surat  Cara Pembelian Saham Bank Umum
Pasal 6 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian saham bank dalam rangka kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan money laundering.

3. PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum
Pasal 6 ayat (1) huruf j dari PBI ini mengatur bahwa dalam rangka permohonan izin pendirian bank umum, calon pemegang saham bank wajib melampirkan surat pernyataan bahwa setoran awal bank tidak berasal dari dan untuk tujuan money laundering. Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan bank atau
pembelian saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang.

4. PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience
Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungís audit. Intern Bank Umum PBI ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini bank diwajibkan untuk menugaskan salah satu anggota direksinya sebagai Compliance Director yang memastikan bahwa bank telah memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk perbankan. Bank juga diwajibkan untuk membentuk Satuan kerja Unit Intern yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara keseluruhan.

   5. PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank
Dalam ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi tertentu oleh bank terhadap WNA, badan hukum asing lainnya, WNI yang memiliki status penduduk tetap negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, kantor bank/badan hukum Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini sekurangkurangnya dapat menjadi sarana yang kondusif untuk mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan kegiatan pencucian uang.

6. Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal
Nasabah (Know Your Customers Principles)
Sebagai salah satu entri bagimasuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau jasa keuangan lain harus mengurangi resikomdipergunakan sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan tansaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak bank atau perusahaan jasa keuangan lain. Penerapan prinsip mengenal nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus mengenali para nasabah, agar bank atau jasa keuangan lain tidak terjerat dalam kejahatan pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan rekomendasi FATF, yang merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles For effective Banking Supervision dan Bassel Committee .

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Prinsip KYC pada dasarnya
bertujuan untuk :

a. membantu bank agar dapat mendeteksi sesegara mungkin setiap aktivitas yang mencurigakan yang dilakukan nasabah;
b. memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang berlaku;
c. menegakkan prinsip kehati-hatian dalam praktek perbankan;
d. mengurangi risiko dimanfaatkannya bank sebagai sarana untuk melakukan aktivitas kejahatan.
e. melindungi reputasi bank.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Pemerintah, termasuk Bank Indonesia, telah melakukan langkah-langkah yang lumayan konkret, tetapi hasilnya belum cukup untuk upaya mencegah dan memberantas money laundering. Di samping itu, Lembaga Legislatif (DPR) juga telah membuat suatu aturan Perundang-Undangang yang mengatur Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang karena pencucian uang sudah ditetapkan menjadi suatu Tindak Pidana. Undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Yang di undangkan pada Tanggal 17 April 2002. Undang-tersebut diubah karena dianggap kurang efektif dalam memberantas tindak pidana pencucian uang. Dan dalam Undang-undang ini telah dibentuk  Suatu badan yang independen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden dan untuk membantu pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang diakses pada minggu 27 oktober 2013
wastika, Benny. 2011. Penerapan Asas Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana          Pencucian Uang. FH UI: Jakarta.
Indriati, Santi. 2010. Tindak Pidana Pajak dan Money Laundering. Jakarta.
Iza, Fadri. 1994. “Seminar Nasional Pemutihan Uang Hasil Kejahatan (Money Laundering             Crime), www.Legalitas.org
Komariah, Rukiah.2010. Artikel “Tindak Pidana Perpajakan dalam Penghindaran Penyimpangan, Penipuan dan Pemalsuan Pajak”. www.legalitas.org