Selasa, 24 November 2015

MENGGUGAT REGULASI DAN MENAGIH JANJI FREEPORT




PT Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di kabupaten Mimika, provinsi Papua, Indonesia. Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia. Dalam hal ini yang sering menjadi perdebatan adalah kontrak karya yang digunakan PTFI dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Selain dari pada itu, limbah yang dihasilkan oleh kegiatan PTFI dalam hal ini juga banyak menuai kontroversi. Tapi dalam hal ini haruslah diakui bahwasanya PTFI merupakan salah satu cadangan terbesar terhadap pemasukan negara.
Jika kita mengkaji lebih rinci dalam hal ini, PTFI tidak sepenuhnya dapat dikambing hitamkan terhadap permasalahan-permasalahan yang kerap muncul, seperti dalam hal kerusakan lingkungan, keselamatan para pekerja, pemanfaatan pekerja pribumi yang minim dan lain-lain.
PTFI dalam hal ini mempunyai peran besar terhadap pemasukan kas negara yang selayaknya selalu menjadi pertimbangan negara untuk terus menjalin kerja sama antara pemerintah Indonesia dan PTFI, ada beberapa alasan mengapa pemerintah Indonesia sampai saat ini menjalin kerja sama yang baik dengan PTFI diantaranya menurut hemat penulis adalah:
  • Menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 24.000 orang di Indonesia (karyawan PTFI terdiri dari 69,75% karyawan nasional; 28,05% karyawan Papua, serta 2,2% karyawan Asing).
  • Menanam Investasi > USD 8,5 Miliar untuk membangun infrastruktur perusahaan dan sosial di Papua, dengan rencana investasi-investasi yang signifikan pada masa datang.
  • PTFI telah membeli > USD 11,26 Miliar barang dan jasa domestik sejak 1992.
  • Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, PTFI telah memberikan kontribusi lebih dari USD 37,46 Miliar dan dijadwalkan untuk berkontribusi lebih banyak lagi terhadap pemerintah Indonesia hingga lebih dari USD 6,5 Miliar dalam waktu empat tahun mendatang dalam bentuk pajak, dividen, dan pembayaran royalti.
  • Keuntungan finansial langsung ke pemerintah Indonesia dalam kurun waktu empat tahun terakhir adalah 59%, sisanya ke perusahaan induk (FCX) 41%. Hal ini melebihi jumlah yang dibayarkan PTFI apabila beroperasi di negara-negara lain.
  • Kajian LPEM-UI pada dampak multiplier effect dari operasi PTFI di Papua dan Indonesia di 2011: 0,8% untuk PDB Indonesia, 45% untuk PDRB Provinsi Papua, dan 95% untuk PDRB Mimika.
  • Membayar Pajak 1,7% dari anggaran nasional Indonesia.
  • Membiayai >50% dari semua kontribusi program pengembangan masyarakat melalui sektor tambang di Indonesia.
  • Membentuk 0,8% dari semua pendapatan rumah tangga di Indonesia.
  • Membentuk 44% dari pemasukan rumah tangga di provinsi Papua.[1]
Kontribusi yang PTFI berikan dalam hal ini merupakan kontribusi yang patut diapresiasikan kepada PTFI, dalam hal ini pemerintah dan masyarakat harus selayaknya mengakuinya.
Dalam perjalanan kegiatan usahanya PTFI telah menyiapkan data-data yang menjadi alasan pembenar dan atau jawaban terhadap gugatan-gugatan yang dilayangkan kepadanya. Karna pada dasarnya kegiatan usaha tidak selamanya berjalan mulus seperti yang pelaku usaha inginkan, maka dalam hal ini PTFI telah menyiapkan antisipasi-antisipasi dalam pembelaan menghadapi berbagai macam jenis gugatan pada diri korporasi yang berasal dari negri Paman Sam ini, penulis ingin menguraikan beberapa data yang PTFI miliki diantaranya:
1.      Terhadap kerusakan-kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan PTFI yang meliputi pencemaran sungai, hutan, ikan dan flora dan fauna. Dalam hal ini penambangan yang dilakukan PTFI sebenarnya telah memenuhi standar analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), PTFI terus mengevaluasi potensi dampak operasi tambang melalui pengukuran mutu air, biologi, hidrologi, sedimen, mutu udara dan meteorology secara menerus
2.      Tentang limbah yang dihasilkan PTFI kurang lebih 300.000 ribu ton/hari yang sangat berbahaya terhadap kelangsungan hidup makhluk bernyawa yang ada disekirat tambang. Dalam hal ini PTFI memberikan klarifikasi bahwasanya PTFI dalam sangat berhati-hati dan menerapkan sistem yang ketat dalam pengelolaan limbahnya, tentang pengaturan tailing dan seluruh aspek dari operasinya yang memiliki dampak terhadap lingkungan. Dampak lingkungan dari kegiatan PTFI adalah overburden (batuan penutup) dan tailing. Oleh sebab itu pengelolaan utama lingkungan hidup PTFI difokuskan kepada kedua hal tersebut. Upaya pencegahan air asam dilakukan dengan mencampurkan overburden yang berupa batu kapur dengan overburden yang berpotensi menghasilkan asam dengan proporsi yang cukup. Untuk meminimumkan dampak, tailing dialirkan ke dataran rendah dan diendapkan di antara dua tanggul. Segera setelah memungkinkan, endapan tailing akan direklamasi.
3.      Persepsi bahwasanya PTFI memberikan upah dibawah standar, dan masyarakat sekitar tidak dilibatkan dalam kegiatan usaha tambang ini, tidak sebanding atas apa yang mereka dapatkan dari tanah papua tersebut. Faktanya Pada tahun 2012 PT Freeport Indonesia mempekerjakan lebih dari 11.700 karyawan langsung dan lebih dari 12.400 karyawan kontraktor. Jumlah karyawan langsung PTFI: 64,04% Non Papua, 34,63% Papua, dan 1,33% Asing. Kebijakan Freeport Indonesia adalah untuk terus mempekerjakan lebih banyak pegawai yang berasal dari Papua. Freeport Indonesia mendirikan Institut Pertambangan Nemangkawi, sebuah sekolah tinggi untuk mempersiapkan tenaga-tenaga kerja asal Papua yang terampil untuk bekerja di area perusahaan. Sekolah itu telah mendidik dan melatih ribuan pemuda asli Papua dimana saat ini mereka telah bekerja di PT Freeport maupun berbagai perusahaan kontraktor serta privatisasinya.[2]
Dan masih banyak lagi klarifikasi yang seharusnya PTFI berikan terhadap keingintahuan mayarakat atas pertanggungjawaban yang sejatinya PTFI harus penuhi.
Setelah berbagai kontibusi yang PTFI berikan kepada negara Indonesia, penulis berpendapat itu masih dibawah standar yang seharusnya PTFI penuhi pada negara kesatuan Indonesia. Benar jika dikatakan semua kontribusi itu tidak sebanding dengan hasil keuntungan sumber daya alam yang mereka nikmati dana mereka pergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan korporasi yaitu dalam hal ini adalah PTFI.
Maka penulis mengkritisi kebijakan-kebijakan Pemerintah yang memberikan terlalu lebih keistimewaan terhadap PTFI, baik itu dari kebijakan kontrak karya yang sampai saat ini masih terus berjalan sampai jangka waktu yang ditentukan, dan juga kebijakan royalty yang seharusnya pemerintah dapatkan lebih dari yang mereka berikan pada negara Indonesia. Secara ringkas kritisi yang ditulis oleh penulis dapat diseimpulkan kurang lebih demikian:
1.      Dalam hal penguasaan sumber daya alam, seharusnya negara yang memiliki kekuasaan mutlak mengendalikan dan memanfaatkan kekayaan alam Indonesia terlebih dalam pertambangan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi dalam hal ini memberikan penguasaan pengelolaan dan pengurusan tambang Indonesia terhadap asing merupakan perlawanan terhadap ketentuan UUD 1945, yaitu dalam hal ini tertuang dalam pasal 33.
2.      Mengenai kebijakan kontrak karya pemerintah dengan PTFI, sejatinya kebijakan kontrak karya ini memiliki banyak kerugian terhadap pemerintah Indonesia, yaitu dalam hal ini seluruh management, oprasional, diserahkan seluruhnya pada penambang dalam hal ini PTFI, jadi dalam hal ini pemerintah tidak memiliki kontrol apa-apa dalam hal management, maka kedaulatan negara dipertanyakan disini.  Berbeda dengan kontrak kerja,  yang mana pemerintah memiliki kontrol atas management dan oprasionalnya. Jadi dalam hal ini apapun yang terjadi harus seizing pemerintah
3.      Terdapat penyimpangan-penyimpangan regulasi dalam pelaksanaan kegiatan PTFI, terutama dalam pemindahan penduduk yang ada dalam kontrak karya. Dalam hal ini jelas sangat bertentangan dengan UU Pokok Agrasia pasal 3. Pasal tersebut sudah jelas menjelaskan bahwa negara mengakui hak ulayat (adat), sedangkan kenyataannya PTFI memberikan konsensi yang terletak tanah tersebut.
4.      Besarnya royalty yang dibayarkan PTFI lebih rendah dari pada yang diwajibkan dalam PP No. 45 tahun 2003 tentang tariff atas penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementrian energy dan sumber daya mineral. PTFI seharusnya membayar 3,75% royalty untuk emas, tembaga 4% dari harga jual per kilogram, perak 3,25% dari harga jual per kilogram, kenyataannya PTFI masih mengacu pada kontrak karya tahun 1991 yaitu besar royalty tembaga 1,5 %, emas dan perak hanya sebesar 1%.
Penulis dalam hal ini memberikan petisi pada pemerintah untuk segera mengubah bentuk kontrak dengan PTFI dari kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan (IUP) agar kedaulatan negara kita tetap terwujud dalam proses perjanjian antara pemerintah dan PTFI, atau harapan yang lebih besar lagi adalah pemerintah dapat mengambil alih semua saham dari PTFI dan mengelola sumber daya alam di tanah kita sendiri dengan mandiri.




Jarzed




[1] . https://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia
[2] . ·  Soehoed, A.R (2002), Sejarah Pengembangan Pertambangan PT Freeport Indonesia, Jakarta