Minggu, 11 Oktober 2015

KPK DITELANJANGI, GIMANA NIH PAK JOKOWI?



            Komisi Pemberantassan Korupsi yang biasa kita kenal dengan sebutan KPK sejauh ini telah memberikan kontribusi yang luar bisa dalam menyelamatkan aset kekayaan negara dari manusia-manusia tamak di Indonesia. Kinerja KPK patut diacungi jempol dalam hal pemberantasan korupsi yang sejatinya kejaksaan dan kepolisian pun belum mampu memberantas dan menangani kasus korupsi yang semakin bertambah tiap tahunnya sebelum adanya lembaga anti rasuah ini. seperti yang dilansir website resmi KPK, sejak KPK  berdiri dalam melaksanakan kewajibannya yaitu memberantas korupsi lembaga anti rasuah ini telah mendapatkan beberapa penghargaan atas kinerja yang sangat optimal selama ini diantaranya lembaga terbaik 2014 dari Soegeng Sarijadi School of Governance (SSSG), “Pioneer kelembagaan dan SDM ULP yang permanen” dari LKPP, keterbukaan informasi publik berbasis internet dari Bakohumas, dan sejumlah penghargaan lainnya (kpk.go.id senin 29 Desember 2014).
            Pada tahaun 2013 Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp. 1,196 triliun, jumlah yang fantastis yang sejatinya lebih efisian digunakan demi kepentingan rakyat dari pada masuk ke kantong para koruptor yang hanya meninggalkan noda hitam dalam birokrasi negara kita, belum lagi masih banyak rakyat Indonesia yang jauh dari kata sejahtera sesuai janji dan cita konstitusi yaitu mensejahterakan kehidupan bangsa. Maka sudah sepatutnya lembaga anti rasuah ini terus didukung dan diperkuat dalam menjalankan tugasnya agar kejahatan tindak pidana korupsi di Indonesia semakin menurun tiap tahunnya. Seharusnya Indonesia bercermin kepada negara-negara berkembang yang telah dapat dikatakan sukses dalam penanganan tindak pidana korupsi, seperti halnya Negara Cina yang sangat memerangi kasus korupsi di negaranya, seperti yang dilansir hukum online Negara Tirai bambu ini tidak segan-segan memberikan hukuman yang seberat-beratnya terhadap koruptor yaitu hukuman mati atau seumur hidup, seperti nasib buruk yang menimpa Hu Changqing yang dieksekusi mati setelah permohonan kasasinya ditolak (9 maret 2001), Hu Changqing adalah wakil Gubernur provinsi Jiangxi yang dihukum mati setelah terbukti bersalah menerima suap senilai AS$660.000 atau kurang lebih sebesar Rp.4,95 Miliar dan menerima sogokan property sebesar kurang lebih Rp.1,5 miliar. Jika dengan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya dapat menurunkan angka korupsi di Indonesia kenapa harus takut untuk mengimplementasikannya, para pejabat mengapa harus menolak dan takut akan hukuman tersebut jika dia merupakan pejabat negara yang bersih dan membela kepentingan rakyat, bisa diambil kesimpulan para pejabat yang takut akan hukuman yang demikian berarti dia mempunyai niatan untuk melakukan tindak pidana korupsi. mungkin banyak saudara pembaca yang kurang setuju dengan pendapat yang penulis sampaikan, tapi sejatinya jika dikaitkan dengan konteks hak asasi manusia, maka hak asasi manusia adalah sesuai dengan penafsiran masing-masing negara. Jika penerapan pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang macam-macam pemidanaan yang salah satunya adalah hukuman mati digunakan dan disahkan maka itu adalah takaran HAM di Indonesia, maka penegakan HAM di Indonesia adalah implementasi pasal 10 KUHP tadi.
            Mirisnya saat ini, KPK yang seharusnya diperkuat, didukung dan dilindungi kenyataannya digunduli dan ditelanjangi kewenangannya dalam menjalankan kinerjanya, ini wujud dari kemunduran hukum di Indonesia, seperti dilansir KOMPAS.com pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai semua poin-poin revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) bentuk pelemahan KPK, alih-alih penguatan. Alumni Fakultas Hukum Gadjah Mada ini menegaskan ada 5 pasal yang sangat jelas melemahkan KPK, yaitu Pertama pasal pasal 5 dan pasal 73 revisi UU KPK yang menyebutkan bahwa usia KPK hanya 12 tahun setelah revisi UU KPK disahkan, kedua pasal 53 revisi UU KPK yang menghapus tugas dan kewenangan KPK di bidang penuntutan, ketiga pasal 14 ayat (1) huruf a revisi UU KPK dalam pasal tersebut KPK wajib memperoleh penyadapan dari ketua  Pengadilan Negri, keempat pasal 13 revisi UU KPK menjelaskan bahwa KPK tidak bisa menangani kasus yang nilai kerugian dibawah 50 miliar dan kasus tersebut harus dilimpahkan kepada kepolisian dan kejaksaan, kelima pasal 41 ayat (3) revisi UU KPK dimana penyelidik dan penyidik KPK hanya dapat dipilih dari usulan kepolisian dan kejaksaan .
            Jika batasan usia kerja KPK dibatasi hanya 12 tahun ini sama saja menyempitkan gerak KPK dalam penyelesaian tugas KPK begitu pula dalam hal penuntutan. Kemudian jika diamati prestasi KPK dalam menyudutkan dan membawa para koruptor ke meja hijau tidak lepas dari penyadapan yang menjadi senjata pamungkas KPK dalam menguak kasus tindak pidana korupsi, jika kewenangan penyadapan dibatasi bahkan dihilangkan sama saja melucuti senjata utama KPK dalam hal ini yaitu penyadapan. Karna sejatinya ketua pengadilan negri pun bisa menjadi subjek dari penyadapan tersebut. Kemudian pembatasan kewenangan dalam hal menangani kasus yang diatas 50 miliar sama halnya dengan menjadikan KPK sebagai pengangguran abadi, karna sebagian besar kasus yang KPK ungkap adalah tindak pidana korupsi yang dibawa angka 50 miliar.
            Maka kami sebagai warga negara ingin bertanya kepada bapak presiden Indonesia, apakan akan terus diam melihat fenomena yang terus diperbincangkan oleh masyarakat, apakah bapak presiden akan lebih memilih Indonesia menernak para koruptor di tanah hijau yang kita banggakan ini. sejatinya ini adalah momentum dimana bapak presiden menunjukan dukungan terhadapa pemberantasan korupsi yang selalu bapak presiden ucapkan ketika masa kampanye lampau. Ini adalah kesempatan untuk mendukung konstiutusi kita dalam mewujudkan citanya yaitu mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan bangsa yaitu antara lain dengan mendukung pemberantasan korupsi. Anda adalah pemegang kemudi bahtera bangsa ini untuk menuju pada kesejahteraan yang diimpikan, maka kemudikanlah bahtera demi, untuk dan bersama rakyat.
            Jokowi bisa dinilai sebagai kunci penguatan atau pelucutan KPK, karna presiden mempunya hak prerogative yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga negara lainnya. Secara umum presiden dapat menolak pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Supres) untuk melakukan pembahasan revisi UU KPK, pernyataan ini mengacu pada pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama serta pasal 49 dan 50 UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan peraturan Perundang-undangan yang menyatakan pembahasan suatu RUU dapat dilakukan ketika presiden menerbitkan Supres (KOMPAS.com/Minggu 11/10/2015).
            Jika presiden berani untuk tidak menerbitkan Supres bukan berarti presiden anti DPR atau faktor politik lain yang bisa dikaitkan dengan dualisme kubu yang selama ini tumbuh dalam DPR, karna sejatinya 6 fraksi yang mendukung penuh terhadap revisi UU KPK ini adalah sebagian besar dari kubu pro pemerintah, maka jika keputusan Jokowi demikian maka itu adalah murni kebijakan dari presiden untuk kepentingan rakyat banyak. Presiden harus berani menentukan sikap untuk memerangi korupsi, bukan selalu meminta pertimbangan orang-rang yang berada disekelilingnya, karna tidak menutup kemungkinan orang yang berada disekelilingnya adalah salah satu yang mendukung penuh pelumpuhan KPK, maka Idealisme dari seorang pemimpin yang rakyat harapkan. Jadilah presiden yang bisa kami banggakan pak!


Jarzed, Jakarta 12 oktober 2015